Saturday, September 19, 2009

Tersenyumlah Bidadariku


Gadis itu tengah duduk dan membaca secarik kertas dalam kamarnya yang sedikit temaram. Sebuah undangan untuk orangtua mahasiswa yang akan diwisuda. Gadis itu Lina. Lima hari lagi ia akan meraih gelar Sarjana Komunikasi.
"Apa aku harus kembali ke rumah itu ya, sudah hampir empat tahun aku tak pernah lagi menginjakkan kakiku di sana." Lina bergumam
Memang telah empat tahun ia tak pernah lagi mengunjungi tempat ia dahulu merenda masa kanak-kanak dan remajanya. Sejak ia terlibat perang mulut dengan papanya. Masalah yang harusnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Hanya karena papa Lina menginginkan anaknya untuk kuliah di Kedokteran sementara Lina lebih memilih Ilmu Komunikasi sebagai jalur pendidikannya. Secuil masalah yang mengakibatkan perang argumen panjang yang tak berkesudahan. Dalam keadaan emosi, Lina memutuskan untuk meninggalkan rumah. Walau memang dengan berat hati, ia harus meninggalkan adiknya Rani yang saat itu masih kelas 2 SMP. Lina meninggalkan rumah tanpa menengok lagi. Sesekali ia bertemu dengan adiknya di luar rumah namun pertemuan itu seperti pertemuan dua makhluk asing yang tak saling mengenal. Lina menyesali semuanya, andai saja Mamanya tidak terlalu cepat meninggalkann mereka pasti pertengkaran itu akan sedikit terhindari dan ia tak harus meninggalkan rumah.
Lina bangkit dari kursi dan meraih HPnya yang sudah cukup lama berdering. "Hai Bram, ada apa?" Tanya Lina.
"Lin, inget ya besok ada meeting, datang lebih pagi ya!" Sahut Bram. "Pasti." Jawab Lina singkat.
"Ya, kalau begitu 'met bobo ya sayang." Bram mengakhiri pembicaraan.
Bram adalah orang terdekat Lina saat ini. Dia yang sering memberikan semangat pada Lina untuk menjalani hari-harinya. Bram juga yang meberikan Lina kesempatan untuk bekerja di radionya sebagai Public Relation.
***
Pagi itu Lina berangkat ke kantor dengan banyak hal yang berkecamuk di kepalanya. Ia menjadi sulit berkosentrasi dalam pekerjaannya. Bram melihat perubahan dalam sikap Lina yang cenderung lebih pendiam dan murung.
Bram menghampiri Lina, "Ada apa sih ? Seharian ini kamu kusut banget." Tanya Bram.
Lina menyerahkan surat undangan wisuda itu pada Bram. Bram membacanya, kemudian berkata "So, what's wrong?"
"Kamu sendiri kan tahu, aku sudah lama tidak berhubungan lagi dengan Papa. Sekarang tiba-tiba aku harus bertemu lagi dengannya. Aku bingung, lebih tepatnya canggung dan gugup." Kata Lina.
"Kenapa kamu harus bingung, justru sekarang waktunya kamu menunjukkan pada Papamu, kalau kamu bisa berhasil walau tanpa bantuannya." Jawab Bram.
"Tapi..." Lina masih bimbang.
"Sudahlah, nanti sepulang kerja aku antar kamu ke rumah. Okey...." Kata-kata Bram disambut anggukan Lina.
***
Rumah itu tetap tidak berubah. Masih bercat putih, sama seperti saat Lina terakhir mengunjunginya. Dan masih terlihat angkuh. Sejenak Lina ragu untuk melangkah masuk, namun Bram meraih tangannya dan membimbingnya ke dalam.
Pintu terbuka dan nampak Bik Minah. "Non..." Perempuan tua itu terkejut. "Ada Papa Bi' ?" Tanya Lina. Bik Minah nampak gugup. Lina berjalan masuk dan melihat sekeliling, 'memang tidak ada yang berubah' pikir Lina.
"Bapak sudah 2 minggu tidak pulang, Non. Ehm...semenjak Non pergi dari rumah, banyak yang telah berubah Non. Bapak jadi jarang pulang, katanya urusan bisnis. Sedangkan mbak Rani sering pulang malam bahkan juga tidak pulang." Jelas Bik Minah panjang lebar. Lina tersentak kaget mendengar penjelasan Bik Minah.
"Sekarang Rani ada di kamar ?" tanyanya kemudian.
"Ada Non di kamar, sudah dua hari ini Mbak Rani tidak keluar kamar. Mbak Rani juga tidak memperbolehkan saya masuk ke kamarnya. Oh ya non, minum apa ?" Tanya Bik Minah.
"Buatkan untuk Bram saja, saya tidak usah." Kata Lina. Lina kemudian memandang Bram, "Bram aku naik dulu ya, perasaanku nggak enak." Kata Lina sambil menaiki tangga.
Lina sudah berada di depan kamar adik semata wayangnya. Ia membuka pintu itu perlahan. Ternyata...pemandangan di hadapannya membuat Lina benar-benar syok. Rani sedang menyuntikkan jarum ke tangannya.
"Rani !!!"Lina berteriak dan berlari ke arah Rina. Ia segera merampas alat suntik dari tangan Rina.
"Apa-apaan kamu !! Kamu make ?" Teriak Lina pada adiknya.
 "Bukan urusan kamu ! Ngapain kamu ke sini ? Urus aja diri kamu sendiri." Teriak Rani. Ia nampak kesakitan.
"Ran, ini aku Lina, kakakmu." Kata Lina sembari mendekati Rani. Rani menghindar dan berlari ke pojok ruangan. "Aku nggak punya siapa-siapa. Aku sendirian. Kamu tahu itu, aku sendirian." Rani berteriak , kemudian ia tertawa nyaring. Namun tawa itu getir. Dan berubah menjadi tangis yang menyayat. Lina berlari ke arah Rani dan mencoba meraih tubuhnya. Namun adiknya itu meronta. "Pergi kamu !! Di mana kamu saat aku kesepian, saat aku ada masalah. Aku sendirian di sini." Rani berkata dengan semakin terisak.
"Maafin aku ya, Ran. Aku sayang sama kamu. Aku janji nggak bakalan ninggalin kamu lagi." Jawab Lina. Lina perlahan-lahan mendekati adiknya dan mendekapnya. Rani semakin meronta namun dekapan Lina tak melemah.
"Tenang ya, Ran. Mulai saat ini aku akan terus di samping kamu. Kamu bisa andalkan aku. Maafkan mbak Ran, karena keegoisan mbak kamu jadi menderita seperti ini. Mbak akan bantu kamu lepas dari semua ini." Kata Lina sambil membelai rambut adiknya. Rina semakin tenang kemudian ia membimbingnya untuk berbaring di tempat tidur.
"Bik...." Lina berteriak. Bik Minah tak datang sendiri, ia bersama Bram. "Bik Tolong telepon dokter." Kata Lina. Bik Minah segera keluar. "Bram, tolong geledah kamar ini, mungkin masih ada yang tersiksa." Kata Lina sambil menyerahkan jarum suntik itu pada Bram. Rupanya Bram telah mengerti maksud Lina.
***
Keadaan di rumah sudah mulai terkendali. Rani sudah tenang. Dr. Soemitro menyarankan untuk membawa Rani ke rehabilitiasi. Namun Lina menolak. Ia ingin Rani disembuhkan di rumah. Lina juga telah menelepon papanya dan memintanya segera pulang. Ia juga meminta cuti pada Bram.
Saat Papa Lina datang, mereka berbicara di ruang kerja. Lina telah menceritakan semua yang tadi terjadi  termasuk maksud kedatangannya hari ini. Diserahkannya undangan wisuda itu pada sosok lelaki di hadapannya. Papa Lina menerima dan membacanya.
"Jadi..." Papa Lina menggantungkan kata-katanya.
"Saya harap Papa bisa hadir di wisuda saya." Jawab Lina.
Papa Lina berjalan ke arah jendela. Lalu ia berkata, "Mengapa saya harus datang ?" Pertanyaan itu sedikit menyulut emosi Lina, namun ia teringat Rani. "Karena bagaimanapun Papa adalah orang tua Lina. Lina ingin membuat Papa bahagia dan bangga pada Lina." Lina mencoba menahan emosinya. Papa Lina berbalik merentangkan tangannya. Lina nampak terkejut, namun segera ia menghampiri dan memeluk Papanya.
"Pasti Papa akan datang. Papa bangga sekali kamu telah berhasil walaupun tanpa biaya dari Papa. Papa bangga nak." Kata-kata itu meluncur dan menyirami hati Lina yang selama ini kering. Ia menangis terharu. "Kak...." Rani nampak membuka pintu.
"Rani...sini sayang." Kata Papa. Rani mendekat dan merekapun berpelukan. "Maafkan Papa ya, Papa janji akan selalu bersama dengan kalian." Janji Papa.
Senyum di bibir Rani mengembang. Senyum itu membuat Lina lega. Ia berjanji akan selalu menjaga senyum itu agar terus merekah. Semoga kini hanya ada kebahagiaan di hidup mereka.
Selesai 
       

Lantas Apa ?


Ketika rindu tak lagi membuncah
Ketika rasa tak lagi menggelora
Ketika hati menjadi terbelah
Lantas apa lagi yang tersisa dari sebuah kisah cinta
Bimbang...
Ketika panah lain menusuk hati yang satu dan membelahnya
Meninggalkan luka yang menyakitkan,
       namun nikmat
Aku tak dapat khianat dari rasa ini
Tapi...panah itu makin menarikku dalam pusaran yang tak berujung
Apakah aku berkhianat...
Lantas apa...
Cintakah juga yang kurasakan
Dalam diam aku kubur semua
Karena rasa memang selalu salah
Karena ini memang bukan cinta
       lantas apa ?

Friday, September 18, 2009

Kisah tentang Rintik Hujan dan Anak Payung

Pagi ini begitu dingin sepertinya aku tidak berada di kotaku saja. Kotaku yang identik dengan hawa panas dan kering kini berubah lebih dingin dan sejuk. Ya...sepertinya dewi hujan masih betah untuk mencurahkan airmatanya di kotaku ini. Hingga hampir setiap saat jalanan kota ini akan basah karena kucuran airmata dewi hujan. Dan begitupun pagi ini, rasanya malas sekali beranjak dari dalam kamar, di luar hujan masih turun. Tapi bagaimanapun kehidupan harus terus berjalan tidak mungkin hanya karena hujan laju kehidupan berhenti.
Dan begitupun aku, yang kemudian beranjak keluar menemui sejuknya udara pagi itu. Sepiring nasi goreng dan segelas jus jeruk di atas meja membantuku melewati pagi yang dingin ini. Aku segera menyelesaikan hidangan pagiku dan bergegas pergi ke tempatku mengadu nasib. Tempatku mendapatkan nafkah. setelah perutku cukup terisi, aku menghampiri motor bututku di lorong samping rumah. Dengan motor butut ini aku melewati hari-hariku di jalanan.
Jalanan kota ini telah basah, sepertinya hujan semalam masih meninggalkan sisa-sisa langkahnya di jalanan kotaku. Aku melajukan motorku lebih kencang meskipun angin dingin serasa menusuk kulitku. Aku menuju sebuah plaza di kotaku. Sebuah plaza yang bersandingan dengan monumen kebanggan kotaku. Aku pelayan  di sebuah restoran cepat saji di sana. Dengan pekerjaan itulah aku dapat bertahan untuk membiayai kuliahku.
Segera aku memasuki areal plaza, aku menuju tempat parkir motor untuk menitipkan motorku selama aku bekerja. Gerimis kecil menyambutku sesampainya aku di sana. Aku sedikit berlari menuju pelataran plaza agar seragam kerjaku tidak terlalu basah karena hujan. Di saat aku berlari-lari kecil pandangan mataku tertumbuk pada beberapa anak kecil yang berjalan menuju pelataran plaza. Anak-anak itu membawa payung tapi tidak untuk dipakainya. Hanya ditutup saja. Sementara tubuh mereka mulai basah karena airmata dewi hujan.
***

"Mbak...Mas...Om...Tante...Payung."
"Payungnya mbak...mas...daripada kehujanan. Saya antar sampai parkir."
"Jok entuk piro?" Tanya Dodik. Anak yang bertubuh paling besar diantara teman-temannya.
"Loro, Dik. Iku ae sik dienyang. Koen piro?" Tanya Joko balik.
"Siji...Wonge pelit-pelit. Wani kudanan timbang nyewo payung." Jawab Dodik.
"Yo wis lah...balik ta iki, moleh ae, wis sepi aku yo kademen." Sergah Tono, anak-anak laki-laki lainnya.
Kata-kata Tono disambut anggukan oleh teman-temannya yang lain. Mereka berjalan menjauh dari plaza itu. Mereka menuju terminal tua yang telah lama beralih fungsi sebagai rumah mereka.
Tanpa mereka ketahui di balik kaca-kaca plaza itu. Di dalam sebuah restaurant cepat saji, seorang gadis yang tengah membersihkan meja telah memperhatikan gerak-gerik mereka. Pandangan gadis itu lekat pada anak-anak itu hingga mereka meninggalkan plaza. Dan gadis itupun melanjutkan pekerjaannya.
***
Hujan hari ini turun terus dengan derasnya. Kendaraan di jalanan berjalan merambat berharap hujan akan berhenti berganti terang jauh di depan mereka. Orang-orang yang sedari tadi berada di dalam mall nampak berdiri di depan pintu masuknya. Sesekali melongok ke luar pintu kaca berharap hujan reda malam itu. Mungkin mereka ingin pulang ke rumah dan membuka belanjaan mereka sedari tadi.
Aku berdiri di antara belasan orang yang berdiri menunggu hujan sedikit reda. Sesekali aku melihat arloji di tanganku. Pukul 9 malam. 'Kalau aku nggak pulang sekarang bisa-bisa kemaleman sampai di rumah' pikirku.  Sementara itu satu persatu orang di kanan kiriku telah beranjak pergi dengan ojek payung di samping mereka.
"Mbak, payung mbak, 3000 ae mbak, yo mbak?" seorang anak laki-laki menghampiriku menawarkan jasanya.  Aku memandangnya dengan seksama dari bawah hingga atas. Sepertinya aku kenal anak ini.
Anak laki-laki itu masih saja memandangku, "Yok mbak, kemaleman loh nanti." Mendengar kata-kata itu sekali lagi aku melihat arloji di tangan. "Ya udah, sampai parkiran ya." Kataku singkat, disambut sunggingan senyum di wajahnya. Segera ia membuka payung yang sedari tadi ditentengnya. Diarahkannya payung itu ke arahku. Kami berjalan menuju tempat parkir.
"Dari siang aku lihat kamu ada di sini. Nggak sekolah?" Tanyaku.
"Nggak mbak, aku kerja." Jawabnya singkat. Jawabannya membuatku terpekur.
"Nama kamu siapa?" Tanyaku lagi. "Dodik, mbak." Jawabnya singkat. Aku memandangnya lagi dengan seksama sambil sesekali melihat jalan di depan.
"Nama mbak, Dina." Kataku padanya. Dodik tidak memberikan reaksi apa-apa ketika aku menyebutkan namaku.
Malam itu aku berpisah dengan bocah lelaki penyewa payung di tengah rintik hujan. Dan sejak itu bocah itu tak pernah hilang dari ingatanku. Bocah laki-laki kurus dengan payung di tangannya dan tubuh yang hampir semuanya basah.
***
Hari ini aku dapat shift sore, lumayan bisa mampir kampus dulu tadi mengerjakan beberapa tugas kuliah. Dari kampus aku harus memacu motorku lebih cepat karena langit mendung telah membayang di belakangku. Aku menyusuri jalan yang biasa kulewati. Di seberang traffic light terakhir sebelum mall tempatku bekerja terlihat penuh dengan orang berseragam. Satpol PP dengan segenap alat pentungan dan mesin buldozer. Sepertinya penggusuran lagi.
Aku berhenti di traffic light sambil terus memperhatikan para petugas Satpol PP mendesak warga yang tinggal di stren kali untuk meninggalkan daerah itu. Memang daerah yang tidak seharusnya menjadi tempat pemukiman itu kini dipenuhi rumah kardus.
Pandanganku sejenak terpaku pada seorang petugas yang mendorong anak laki-laki dengan tongkatnya. Sesekali petugas itu mengeluarkan kata-kata kasar kepada anak itu. Mataku kucoba fokus pada anak laki-laki yang sepertinya kukenal. Tapi lampu kemudian berubah menjadi hijau dan terpaksa aku harus melajukan motorku. Sesekali aku menolehkan kepala ke belakang melihat lagi adegan penggusuran itu. Bunyi klakson yang bersahutan membuatku harus bergegas.
***
Aku lelah sekali, hari ini pengunjung restoran cepat saji tempatku bekerja kebanjiran banyak sekali manusia. Banyak piring dan sampah yang harus diangkut dan dibersihkan. Di luar, rintik hujan datang lagi. Sambil membersihkan meja-meja mataku liar memandangi keadaan di luar sana.
Waktu rasanya begitu lambat berlau. Satu persatu manusia datang dan pergi di restoran ini. Sekelompak anak bergerombol di depan pintu masuk mall yang berada di samping restoran tempatku bekerja. Mereka membawa serta payung-payung di tangan. Hem...aku ingin sekali bertemu dengan anak laki-laki itu. Tapi sejak tadi aku mencari-cari Dodik, anak penyewa payung itu, tapi tak kutemukan di antara teman-temannya. Sementara hujan semakin deras di luar dan orang-orang semakin banyak yang berdatangan di restoran tempatku bekerja, mungkin menunggu hujan reda.
Aku menyelesaikan semua pekerjaanku ketika langit telah gelap. Namun hujan masih belum juga reda. Aku berjalan menuju anak-anak yang menyewakan payung.
"Kalian lihat Dodik, kok dia nggak datang?" Tanyaku pada anak-anak itu. Pertanyaanku disambut dengan pandangan bertanya.
"Dodik gak ikut mbak, dia di rumah sakit." Kata salah seorang dari mereka.
"Di rumah sakit ? Memang dia kenapa ?" tanyaku lagi. Namun kemudian aku teringat kejadian siang tadi. Sementara itu anak-anak di depanku itu nampak tertunduk.
"Gara-gara penggusuran tadi siang ya ?" Aku mencoba mencari pembenaran dari mereka. Salah satu dari mereka kemudian mengangguk dan berkata "Ya mbak, kepalanya bocor kena pentung petugas. Sekarang di Karang menjangan mbak." Mendengar semua itu tak terasa bulir air mata menetes di pipiku.
Betapa berat beban kehidupan yang harus ditanggung anak sekecil itu. Aku seakan berkaca dengan kehidupanku juga. Menjadi anak yatim piatu yang dirawat sebuah keluarga yang hangat membuatku terlalu berat menanggung beban itu sendiri. Tapi Dodik, mungkin ia masih memiliki orang tua lengkap. Tapi kehidupan menuntut ia untuk ikut menanggung bebannya. Aku segera mengajak salah satu dari anak-anak penyewa payung itu untuk menemui Dodik. Aku tidak ingin ia merasa sendirian. Seperti aku yang berhasil bangkit karena ada banyak orang yang mengukurkan tangannya padaku untuk bergandengan tangannya padaku untuk bergandengan tangan melewati kehidupan bersama. Pun demikian yang akan kulakukan dengan Dodik dan anak-anak jalanan lainnya.(*)
Kehidupan Akan Lebih Indah Jika Kita Dapat Bergandenga Bersama Melewatinya 

Lelah


bintang yang selalu memancarkan terangnya
mewarnai malam yang kelam
tiap malam kutengadahkan kepala
      demi untuk melihatnya
tiap malam aku terkagum-kagum akan ciptaan Tuhan itu
tiap malam...
tiap malam...
tapi kini aku lelah...
lelah sekali
kepalaku berat, pening tak keruan
kenapa bintang begitu egois
ia tak mau turun menemuiku
aku lelah
lelah sekali

Lelaki Itu

Manusia itu datang di dekatku
Menghadiahkan senyum peneuh arti
Yang tak ku tahu apa maksudnya
Lelaki itu...
Tiba-tiba memenuhi pikirku
Menyita perhatianku
Tapi...
Lelaki itu...
Hanya lelaki yang hanya manusia
Bukan dewa
yang harus aku puja
Lelaki itu...

Malam ini saja, bisa kan?

Senja itu terlau menyeramkan
meski tuk kesekian kalinya
Apalagi malam
Wajah-wajah dari neraka bangkit kembali

Bayangbayang malam tak pernah berhenti meneror ruang gerakku

Senja itu terlau menyeramkan
meski tuk kesekian kalinya
Apalagi malam
Mata-mata merah penuh amarah datang lagi

senja demi senja
malam demi malam
teror itu datang

Malam ini saja
biarkan senja dan malam berlalu
dengan apa adanya
tanpa teror
Malam ini saja, bisa kan ?

Mimpi

Kata orang mimpi begitu menyesatkan menerima yang nyata
Pun demikian aku
Ku selalu berada pada mimpi yang sama
Mimpi tentang pangeran dan kuda putih

Serta padang bintang tempat segala pengharapan terkabul
Mimpi tentang harapan, cita-cita, dan cinta
Mimpi di kala aku terpejam
Benar kata mereka,
Aku enggan membuka mata tuk mengakhiri ini semua
Tapi tiba-tiba sebuah tepukan halus di pipiku
Mencoba menyadarkanku dari mimpi
Aku tersadar dan pandanganku terkunci pada sebuah mata
Mata yang di sana aku melihat semua mimpiku dalam kejernihan matanya


Ruh

Ruh...
Aku terlahir dengan ruh dan raga
yang tak padu
Ruh...
Ruhku melayang
menari
Mencari tempat bersemayam
Ragaku tak dapat menariknya kembali
Ruhku tak ingin menetap
Ragaku tak ingin berpindah
Aku marah...
Aku bingung...
Ruhku...Ragaku...
Dengarlah teriakku
Bersatulah...
Bersatulah demiku...
Demi Tuanmu !!!

Lari--sebuah cerpen


Pemakaman itu nampak ramai. Wajah-wajah penuh duka dengan semburat kemuraman memenuhi sekeliling liang lahat. Namun perempuan itu nampak terdiam. Tak ada tangis. Tak ada pula suara. Airmatanya telah lama kering. Sudah terlalu lama ia menangis.
‘Mas, aku tidak tahu, aku harus sedih atau bahagia melihat kepergianmu. Tapi kalau saja kamu mau bijak, dan benar-benar memegang janji setia kita di depan altar waktu itu, mungkin sekarang kita dapat hidup bahagia dengan anak-anak kita. Tapi sudahlah mas, tenanglah di sisi Tuhan. Sekarang aku akan melanjutkan hidupku. Terima kasih telah memberiku pengalaman hidup yang membuatku bijaksana. Selamat Jalan Mas, kamu telah memilih berlari dari hidupmu. Sekarang, nikmati perjalananmu.’ Perempuan itu menaburkan bunga di atas pusara suaminya.
***
Entah sampai kapan laki-laki muda itu akan bertahan. Ia mencoba untuk terus terapung hanya dengan sebongkah kayu sebagai pegangan. Langit terus berubah warna kadang gelap kadang terang. Ombak terus memainkan tubuhnya. Tubuh yang selama ini ia banggakan rupanya tak ada artinya sekarang. Ketika ia berada di tengah lautan luas. Bersama lelaki itu ada beberapa orang lainnya yang juga berjuang untuk tetap berada di permukaan laut. Ada yang beruntung dengan memakai tambahan pelampung. Ada yang tidak.
Setiap muncul kecipak air dan deru air yang bertabrakan dengan benda logam, pengharapan mereka muncul kembali. Berharap itu adalah malaikat penyelamat mereka. Namun, ketika tak satupun malaikat yang mendekat dan mengangkat mereka dari pusaran ketidakpastian ini, harapan mereka pupus. Begitu terus dan entah sampai kapan.
Sebagian dari mereka menyerah, lapar, takut, dingin, dan rasa ketidakpastian membuat mereka lebih memilih lari ke dalam tidur. Bukankah tidur baik ketika tubuh begitu lelahnya. Bukankah mimpi dalam tidur dapat sedikit mengobati kekecewaan pada dunia nyata.
Seperti mereka tidak sadar dan tidak mengerti mengapa mereka dapat berada pada keadaan macam ini. Mereka juga tidak sadar sejak kapan, tubuh-tubuh mereka sudah berada pada tempat berbeda. Ada yang melihat tubuhnya terbujur kaku pada dek kapal, ada juga yang melihat tubuhnya terbungkus plastik kuning. Bagaimana dengan laki-laki muda kita. Ia tengah dibantu untuk menghangatkan badan oleh laki-laki lainnya. Sebuah kopi hangat menyentuh lambungnya yang berhari-hari tidak bekerja. Tubuh bagian belakangnya seperti mati rasa. Laki-laki muda itu hanya dapat terduduk tanpa reaksi.
***

Sepasang suami istri yang nampak kelelahan keluar dari ruang dokter.
“Bagaimana pak? Apa kita harus beritahukan hal ini kepadanya.” Tanya si Ibu.
“Tidak. Anggap saja kita tidak pernah mendengar kabar ini.” Jawab Si Bapak sambil berjalan tanpa emosi menuju kamar anaknya.
***
Lagu pujian nan syahdu itu begitu menyesak ke sanubari setiap orang yang hadir. Lantunan doa terus keluar dari bibir mereka. Dan di altar itu terdapat dua anak manusia tengah mengikat janji setia.
“Anakku bersediakah kamu menerima Samuel Danandjaya menjadi suamimu dan mendampinginya di saat bahagia ataupun sedih, saat sehat ataupun sakit, saat kaya ataupun miskin, hingga Tuhan memisahkan kalian.” Kata Bapa.
“Saya bersedia.” Jawab perempuan muda itu.
“Anakku bersediakah kamu menerima Kara Anabel Wijaya menjadi istrimu dan mendampinginya di saat bahagia ataupun sedih, saat sehat ataupun sakit, saat kaya ataupun miskin, hingga Tuhan memisahkan kalian.” Kata Bapa lagi.
“Saya bersedia.” Jawab laki-laki muda itu.
Aura cinta dan bahagia sangat terasa pada dua insan itu. Dan aura itu kini menyebar ke diri masing-masing yang hadir.
***
Kamar itu pecah dengan sebuah suara tamparan dan disusul dengan tangisan.
“Dasar perempuan sial!!!” Laki-laki itu menghardik perempuannya.
“Sial, aku salah apa Mas?” Tanya perempuan yang tengah terduduk di ranjang.
“Semua salah kamu. Lihat sudah berapa tahun kita menikah. Lima tahun. Tak satupun ada tanda-tanda kamu hamil. Dasar perempuan sial. Perempuan mandul. Atau aku ceraikan saja kamu. Untuk apa aku memelihara perempuan yang tidak bisa memberikan aku keturunan.” Laki-laki itu terus mengeluarkan kata-kata pedasnya.
“Maksud kamu apa? Aku mandul? Tidak bisa punya anak? Dari mana kamu tahu? Bukankah aku sudah mengajakmu untuk periksa ke dokter. Kamu tak mau.” Jawab perempuan itu sambil terisak.
“Aku tidak perlu periksa ke dokter. Aku baik-baik saja. Bukannya kamu yang harus periksa, untuk memastikan kalau benar kamu mandul?” jawab laki-laki itu sinis.
“Aku tidak mandul, mas. Aku sehat. Dokter yang menyatakannya, karena itu ku mengajak mas untuk periksa.” Jawab perempuan itu dan disambut dengan tamparan lagi yang lebih keras dan membuat telinganya nyeri.
“Apa maksud kamu? Aku mandul? Dokter keparatmu itu salah, bukan aku yang mandul tapi kamu. Dengar itu. Rasakan ini.” Kata-kata itu terus meluncur ditambah dengan tamparan. Kemudian laki-laki itu membuka baju perempuannya dengan paksa dan persetubuhan layaknya binatang terjadi di kamar itu. Tak ada cinta. Tak ada gairah kesenangan. Tak ada pujian dan doa. Tak ada. Hanya ada tangis.
Laki-laki itu meninggalkan perempuannya di kamar dan keluar rumah entah kemana.
***
Bulan-bulan dan tahun-tahun perjuangan mengharuskan si perempuan untuk tetap bertahan dalam kehidupan yang tak pasti. Bisa saja dia lari dari semua ini. Tapi dengan lari ia tidak bisa membuktikan kebenaran.
“Mas, aku hamil.” Kata perempuan itu suatu pagi. Laki-laki itu terperanjat mendengarnya.
“Benar kamu hamil?” Tanya laki-laki itu sambil meraih pundak perempuannya.
“Ya, mas aku sudah telat dan aku juga sudah periksa ke dokter. Aku hamil 5 minggu.” Jawab perempuan itu.
Begitu mendengar kabar itu, si laki-laki menggendong perempuannya dan berteriak-teriak gembira.
“Yiha…..haahaaahaaa Aku punya anak.”
“Terima kasih Ra, Aku saying kamu.” Kata laki-laki itu pada perempuannya. Dan sebuah ciuman mesra mendarat di bibir kecil perempuan itu.
***
Hari penentuan bagi perempuan itu telah datang. Orang tua si laki-laki pun gelisah. Apa lagi orang tua si perempuan. Ibu si perempuan ada di dalam ruang bersalin menemani anaknya yang sedang berjuang. Begitu suami perempuan itu. Ia menemani perempuannya yang berjuang melahirkan keturunannya. Kebanggannya. Penerus namanya.
“Berjuanglah sayang. Keluarkan anakku dari rahimmu. Berilah kehidupan pada keturunanku. Penerus nama keluarga kita. Ayo istriku teruslah berjuang.” Lelaki itu menyemangati.
Si perempuan menahan sakitnya dan tersenyum.
‘Tanpa disuruh pun aku pasti akan berjuang untuk mengeluarkan jabang bayi ini dari rahimku. Karena hanya dengan begitu aku akan menunjukkan kebenaran yang sebenarnya. Lagipula bukankah itu sudah kodratku sebagai perempuan. Aku lahir dan wajib berbakti pada orang tua, menaati apa yang dtitahkan oleh orang tuaku. Aku besar dan mengenal cinta. Menikah dan akupun berganti mengabdi pada suami. Hamil dan mempunyai anak. Mengurus suami, anak, dan rumah. Jika satu saja hal di atas tidak terjadi dalam fase hidupku. Maka aku disebut perempuan cacat. Tidak sempurna. Seperti tahun-tahun yang lalu. Dunia menudingku sebagai perempuan mandul, yang tidak bisa memberikan keturunan bagi suamiku. Tidak bisa memberikan anak yang akan meneruskan nama besar keluarga suamiku. Kini semua harapan ada pada jabang bayi yang sekarang akan keluar. Semua kebenaran. Semua pembuktian. Sebuah kewajiban dan wujud dari titah kodrat yang melekat padaku. Keluarlah nak. Ibu telah menanti kedatanganmu di dunia.’ Pikiran perempuan itu terus berkecamuk diantara rasa sakit, suara dokter dan suster yang mengarahkan proses persalinannya, dan juga tatapan mata penuh harap dari Ibu dan suaminya.
“AAAAAAAAAAAAA.....” Perempuan itu berteriak melepaskan rasa sakit yang dari tadi ia tahan. Dan sewujud bayi keluar dari selangkangannya. Si laki-laki berteriak gembira. Dan mendekati si jabang bayi yang masih merah.
“Ya Tuhan, apa-apaan ini. Brengsek.....Perempuan sialan. Pelacur.” Teriaknya sambil menghambur keluar kamar bersalin. Ibu si perempuan mendekati cucunya. Begitu melihat cucu yang selama ini ia tunggu. Ia terkejut dan menutup mulutnya dan turut keluar.
Perempuan itu bernafas lega. Ia menyambut anak yang telah ia nantikan. Melihat anaknya ia tersenyum. Senyum penuh kemenangan.
***
Perempuan itu tengah menggendong anaknya di hari kemudian. Di temani semua orang yang meminta penjelasan darinya. Yang pasti juga laki-laki yang juga suaminya itu.
“Katakan hai pelacur siapa ayah anak terkutuk itu? Akan kubunuh dia.” Tanya laki-laki itu.
“Mengapa, mas menanyakan siapa ayah anak ini. Bukankah, mas adalah suamiku, pastinya ini anak mas.” Jawab perempuan itu dengan tenang dan ia mengeluarkan senyum manisnya.
“Huh...Orang goblok juga tahu kalau anak itu bukan anakku.” Jawab laki-laki itu.
“Sudahlah Nak, katakan saja siapa sebenarnya ayah anakmu itu. Beres masalahnya.” Ibu si perempuan itu sambil menangis.
“Iya, lihatlah anakmu berkulit hitam dan berambut keriting. Riwayat keluarga kami tidak ada yang mempunyai ciri fisik macam itu. Semakin cepat kamu jujur, kita akan selesaikan masalah ini baik-baik.” Kata Ayah si laki-laki.
“Sudahlah...tidak perlu lagi kita mendengar omong kosong, pelacur murahan ini. Muak aku melihat wajahnya dan anak itu.” Kata laki-laki itu sembari beranjak pergi.
“Tunggu mas, jangan sampai mas pergi sebelum mas mendengarkan penjelasanku. Setelah nanti aku jelaskan semuanya, silahkan mas lakukan apa yang mas kehendaki.” Kata perempuan itu sambil tersenyum. Dan terus menyusui anaknya. Setelah ia melhat wajah anaknya, ia menarik napas panjang dan menghembusknnya.
“Akhirnya saat ini datang juga, sebelumnya saya ingin minta maaf pada Mama dan Papa, juga Ibu dan Ayah, maaf jika apa yang telah saya lakukan menyakiti hati dan juga mengecewakan semuanya.” Perempuan itu berhenti sejenak.
“Perihal tentang anak ini, ia adalah anakku. Selama ini Mas menuding aku sebagai perempuan sial dan tidak beguna hanya karena aku tidak dapat memberikan keturunan untuk mas. Itu kata mas. Berkali-kali kukatakan pada mas, kalau Aku tidak mandul. Aku punya dasar, mas. Punya bukti. Aku telah memeriksakan kesehatan dan kemungkinan aku punya anak. Dan hasilnya aku sehat dan dapat mempunyai anak kapanpun kumau. Tapi sekalipun mas tidak mau diajak untuk periksa. Aku tak pernah memaksa mas untuk ke dokter.” Ia berhenti dan menimang anaknya.
“Aku lelah mas, aku lelah terus-terusan kamu salahkan. Kamu tidak pernah berpikir yang paling menderita karena kita tidak mempunyai anak bukanlah kamu tapi aku. Semua orang menudingku dan memandang hina padaku. Pun termasuk kamu. Orang yang berjanji setia, susah dan senang hidup denganku. Aku kecewa mas. Kecewa atas perlakuanmu. Dan kecewa karena harusnya kamu memberiku semangat untuk menjalani ini semua tapi kamu makin menjatuhkanku ke jurang derita.” Ia berhenti untuk memandang sekelilingnya. Orang tuanya berdiri di sampingnya dengan linangan air mata. Mertuanya berdiri terpaku di ujung sana. Dan suaminya duduk di sofa bergeming dengan tatapan penuh kebencian.
“Di tengah pusaran rasa takut dan kecewa, Dokter Frans memberikan sebuah kabar padaku. Ia berkata, ada sebuah teknologi dalam ilmu kedokteran yang memungkinkan seseorang melakukan pembuahan di luar tubuh, atau istilahnya pembuahan in vitro, jadi sel telurku dapat dibuahi walaupun aku tidak melakukan hubungan seks. Dokter Frans, mengatakan jika aku bersedia, sepenuhnya pembiayaan ia yang menanggung. Karena ia sedang melakukan riset untuk hal ini. Aku pun setuju. Kami membuat kesepakatan, salah satu kesepakatannya adalah aku ingin sperma yang membuahi sel telurku adalah bukan sperma mas, suamiku. Aku ingin itu adalah milik orang lain yang secara fisik berbeda 180° dengan Mas.” Mata perempuan itu menatap tajam laki-lakinya.
“ Apa maksudmu, pelacur.” Sentak laki-laki itu.
“Hentikan menyebutku pelacur ataupun sebutan kotor lainnya mas. Karena aku bukan seperti apa yang mas katakan. Aku memang mempunyai anak bukan darimu. Aku memakai sperma orang yang bahkan tak kukenal. Bukan untuk apa-apa. Bukan untuk melacurkan diri. Apalagi menghinakanmu mas. Aku hanya ingin membuktikan kalau aku tidak mandul. Aku dapat memberimu keturunan. Ya, aku bisa. Anak ini buktinya.” Perempuan itu mengangkat anak dalam gendongannya. Laki-laki itu nampak sedikit bereaksi. Ia mulai gelisah.
“Ibu dan Ayah sekarang mengerti kan, anakmu ini masih tetap anakmu yang suci. Aku tidak pernah berbuat zina dengan siapapun. Anakku tersayang ini lahir atas kehendakku sendiri, pastinya juga atas kehendak Tuhan. Sekarang mungkin kalian mulai bingung dan bertanya-tanya. Jika aku ternyata dapat memberikan keturunan, lantas mengapa tahun-tahun berlalu tanpa ada anak yang meramaikan kehidupan kami. Untuk itu aku tidak bisa menjawabnya. Mungkin ada yang dapat menjelaskannya pada kita semua. Terutama padaku.” Kata perempuan itu pada akhirnya.
“Hem...Maksud kamu aku yang mandul, begitu. Tidak mungkin.” Jawab laki-laki itu tetap dengan nada sombongnya.
“Sekali lagi mas, aku tidak berniat menyalahkan siapa-siapa. Kapasitasku berbicara dalam hal ini adalah untuk membuka kebenaran yang sebenarnya. Bahwa aku bisa punya anak. Itu saja.” Perempuan itu berkata lagi.
Kamar rumah sakit itu hening sejenak, tak ada yang bersuara. Termasuk bayi mungil itu. Sejak tadi ia terus tertidur di dekapan Ibunya. Ia tidak tahu kalau keberadaannya telah perdebatan panjang di antara orang tuanya. “Ehmmm...Sebenarnya sejak kecelakaan waktu itu, kamu divonis tidak akan bisa mempunyai keturunan, nak.” Kata Ayah si laki-laki pelan pada anaknya. Laki-laki itu seketika beridiri dengan muka marah dan penuh kebencian.
“Apa-apan Papa ini, mengapa Papa membela perempuan itu. Aku tidak mandul, sekarang pun jika aku mau aku bisa memberikan Papa cucu.” Kata laki-laki itu dengan nada tinggi.
“Tapi itu benar, Nak. Mama pikir kamu sudah tahu, karena bukankah kamu pernah melakukan General Check Up di Singapura.” Jawab mamanya.
“Tidak....Itu tidak benar, aku bisa punya anak. Kalian semua bersekongkol untuk menjebakku, menjatuhkan harga diriku. Aku baik-baik saja. Aku sehat. 100 anak pun aku bisa berikan. Aku tidak mandul. AAAAAAAhhhhhhhh.....Kalian semua brengsek. Kamu juga perempuan sial. Juga anak setanmu itu. Haaaaaaaaaa” Laki-laki itu histeris dan berlari keluar dari kamar putih itu. Orang tuanya mengikuti setelah mencium anak menantunya.”
Perempuan itu tersenyum puas. Senyum penuh kemenangan. Akhinya ia dapat melihat kebenaran yang selama ini tersingkap dari hidupnya.
***
Laki-laki itu terus berlari menjauhi rumah sakit. Selama ini ia mencoba berlari dari kenyataan yang telah lama ia ketahui. Ia mandul. Ya ia tahu tentang hal itu. Tapi ia tidak pernah mengakuinya. Dan menjatuhkan semua kesalahan pada istrinya. Ia puas atas hal itu. Ia terus lari dari kenyataan yang ada. Dan ia mulai menikmati dan nyaman atas kebohongan yang ia ciptakan. Dan makin tenggelam di dalamnya. Dan kini ia dipaksa untuk bangun dari dunia kebohongan yang ia ciptakan.
Laki-laki itu nampak tidak rela kembali dalam nyatanya hidup. Ia terus berlari. Berlari bukan hanya dari hadapan istrinya yang melakukan hal gila hingga semua ini terbongkar. Tapi juga berlari dari kenyataan.
Kemudian laki-laki itu berhenti berlari dan tersenyum penuh kemenangan. Temannya telah datang padanya. Setelah sekian lama. Ia menerima uluran tangan itu.
***

Setitik Cahaya, dimana ?

Gelap...
Hitam...
Legam...
Langkah awal kaki ini terlau ragu
Tak dapat kulihat sesuatupun di depan
Apa langkah ini berkenan dilanjutkan
...atau henti
Tak dapat aku mundur
Di belakang gelap menanti
Jika tetap aku terdiam
Hingga kapan
Ku hanya ingin setitik cahaya
Setitik saja...
tak perlu melimpah
Setitik Cahaya
yang mampu menuntunku
Menuntun
ke tempat berlimpah cahaya
Tapi hingga kapan aku menanti
Atau...aku harus mencari
Tapi di mana
Sedangkan...
Kanan kiri atas bawah depan belakang semua kelam

Thursday, September 17, 2009

Nadir

Setiap dipa langkah adalah pengharapan
Setiap tarik nafas adalah doa
Setiap gumaman doa adalah derita

Tak perlu lagi harap dan asa
Tak perlu lantunan doa
Tak ada lagi derita

Kini semua ada dalam titik nadir
Semua berakhir kini
Yang ada hanya....
Tunduk dan diam
     dalam hening dan kelam

Ketika Yang Tersisa Hanyalah Air Mata

Hey kamu... Iya kamu... Kamu yang dulu datang lagi dalam hidupku dengan janji tuk tak lagi menghadirkan air mata di wajahku dengan jan...