Saturday, October 31, 2009

Tentang Sebuah Pilihan

Pilihan dan memilih bagiku adalah sebuah perkara rumit. Karena hal tersebut tidak hanya berhenti pada "proses menentukan pilihan" tapi sampai pada pertanggungajawaban yang menyertai pengambilan keputusan. Terkadang aku bertanya-tanya sendiri jika memang takdir kita telah tersurat sejak kita terlahir, lantas mengapa kita masih dirumitkan dengan pilihan-pilihan dalam hidup. Tapi, lantas aku tersadar bahwa hidup takkan terlepas pada sebuah pilihan-pilhan.
Dan aku tersudut dalam keheningan di sini, sedang menimbang berbagai pilihan yang berkecamuk dalam otakku. Setiap subjek permasalahan yang mempunyai pilihan-pilihan untuk dipilih. Aku dihadapkan pada pilihan-pilhan yang sungguh membuatku penat. Coba kalian pikir aku harus memilih antara menyelesaikan skripsi yang deadlinenya makin dekat, usaha yang mulai jalan dan butuh konsentrasi, dan gelitik kreatifitas yang terus menggodaku untuk terus menulis dan berkarya. Semua pilihan yang penting buatku dan sulit buatku membuat prioritas atas semuanya. Atau yang satu ini, aku harus dihadapkan pada pilihan yang rumit antara masa depan dan cita-cita, kebahagiaan orang tua, atau tanggung jawab atas darah yang mengalir dan tumbuh di tubuhku. Memilih salah satu diantaranya akan berimplikasi negatif bagi yang lain.  
Aku terjepit pada situasi yang jujur saja membuatku jengah. Apakah kita tidak bisa memilih semua dengan segudang pertimbangan yang mungkin bisa kita sampaikan. Tapi, seorang teman pernah berkata padaku "Orang akan terlihat bijaksana berdasar pada pilihan-pilihan yang diambilnya." Apa dengan begitu aku tidak bijaksana karena memilih untuk tidak memilih. 
Semuanya penting buatku. Menyelesaikan skripsi, membangun usaha, menulis dan berkarya, dan semua hal yang memaksa aku untuk memilih salah satunya. Aku pilih semua. Tapi marilah tanyakan padaku, mana diantara semua pilihan itu yang paling susah untuk dijalani....
Memilih untuk bertanggung jawab atas darah yang mengalir dan memilih untuk mengambil peran sebagai bunda. Pilihan yang aku pilih (jujur) karena bukan sepenuhnya inginku. Tapi aku nggak mau lari dari masalah. Memilih untuk bertanggungjawab atas semua kesalahan. Memilih untuk mencintai dan mensyukuri Karunia Tuhan ini. Dan untuk pilihan yang satu ini, hanya keikhlasan yang menguatkanku. Sudah tak terkira air mata, pedih, dan pengorbanan yang harus kudera. Untuk pilihan yang satu ini, jujur saja bukan hanya tentang aku dan pilihanku. Pilihan ini bersangkutan dengan banyak nama, banyak cerita, banyak kepentingan. Semua itu membuat aku memilih pilihan ini lengkap dengan konsekuensi di belakangnya yang menyertai. 
Tentang sebuah pilihan dan pilihan lainnya, bahagia ataupun tidak, terpaksa ataupun kehendak sendiri, ikhlas ataupun tidak...Maka yang terpilih itulah yang terjadi. Setelah itu siap untuk bertanggungjawab atas semua pilihan. Pilihan ada untuk dipilih? Kalau aku Pilihan ada untuk tidak dipilih salah satu.... Memilih semua pilihan dan melakukan dengan sebaik mungkin dan ikhlas....
         

Thursday, October 29, 2009

Sepucuk Surat dari Lokalisasi

Malam itu dengan lampu seadanya, Aning terlihat sedang menulis. Ia menulis sambil meneteskan airmata.

Dari Aning di Surabaya buat Bapak-bapak Polisi
Pak Polisi, Aning mau minta tolong. Tolong bebasin ibu Aning yang bapak tangkap dua minggu yang lalu. Aning tahu Ibu sudah salah, udah bunuh orang. Tapi itu juga salah Mami, Ibu waktu itu lagi sakit tapi Mami maksa Ibu kerja. Trus Om itu juga mukulin Ibu Aning. Aning mau jenguk Ibu tapi nggak boleh keluar ama Mami. Mami takut kalo Aning kabur.
Pak Polisi selama ini Ibu kerja cuma buat nyekolahin Aning. Trus kalo Ibu dipenjara, siapa yang bayarin sekolah Aning ? Sebentar lagi Aning masuk SMP, Aning tetap mau sekolah. Tolong ya Pak, bebasin Ibu Aning. Aning nggak pengen jauh dari Ibu. Kalau nggak ada Ibu, orang-orang di sini jahat ama Aning. Aning  juga ga punya temen lagi. Orang-orang bilang Aning anak pembunuh. Tolong Aning Pak Polisi, bebasin Ibu. 

Ia mengakhiri tulisannya. Ia masukkan secarik kertas itu ke dalam amplop. Aning mengendap keluar dari kamarnya menuju belakang rumah. Di sana sudah menunggu Pak Toyo, tukang becak yang selama ini dekat dengan Aning dan Ibunya.
"Paklik, niki surate." Kata Aning sambil menyerahkan amplop surat itu. "Tenan ta iki dikekno Polisi?" kata Pak Toyo.
"Iyo, cepetan jangan sampai ketemu Mami." kata Aning kemudian. Pak Toyo segera meninggalkan deretan wisma itu. Pak Toyo menuju kantor polisi tempat Ibu Aning dipenjara, Ia mengedarai becak yang selama ini ia gunakan untuk menyambung hidup. Namun di saat ia tengah melintas di jalan raya, Pak Toyo dan becaknya terpelanting ke aspal. Sebuah truk yang melaju cepat menyambarnya. Kejadian itu menyita perhatian orang-orang di sekitar lokasi. Seorang wartawan nampak sedang mengambil gambar Pak Toyo yang terkapar di jalan. Wartawan itu tiba-tiba menunduk ketika ia melihat lipatan kertas menyembul di saku Pak Toyo. Wartawan itu mengambilnya dan pergi.
Wartawan itu bernama Rako. Di depan meja kerjanya, ia membaca kerta yang ia temukan tadi. Keningnya nampak berkerut ketika ia membaca. Seketika ia membuka data-data berita yang ia tulis di komputer. "Ini dia!" seru Rako. Ia terus membaca file itu. "Apa surat ini ada hubungannya dengan kasus PSK ini. Kalau dilihat dari waktu kejadiannya sih sama." kata Rako sambil terus berpikir. "Lebih baik aku selidiki saja." katanya kemudian. Rako memutuskan untuk menemui Aning dan menanyakan kebenaran surat itu.
"Maaf Bu, saya ingin bertemu Aning." kata Rako pada Mami. Mami memandang Rako dengan penuh curiga.  "Maaf ya, Aning ga bisa keluar." kata Mami singkat. Rako nampak berpikir dan mencari akal lain. "Di sini juga nggak papa kok, cuma sebentar aja." kata Rako kemudian. "Berani bayar berapa kamu?" tanya Mami. Rako terkejut dengan perkataan Mami. Namun ia nampak tenang. "50.000, gimana?" tawar Rako. "Kamu ngebet ya, lagian kok kamu sukanya ama anak kecil sih. Tapi sudahlah bukan urusan aku. Mana uangnya, sebentar aku panggil anaknya." Rako menyerahkan uang pada Mami, kemudian perempuan tua itu masuk ke dalam. Tak lama ia keluar dengan seorang anak perempuan. Aning duduk di hadapan Rako sambil menunduk.
"Adik yang namanya Aning?" tanya Rako.
"Ya mas, A..A...Ada apa?" tanya Aning gugup
"Kamu sudah tahu tentang kematian Pak Toyo?" ujar Rako sambil diam-diam menyalakan recordernya. "Iya, padahal Paklik Toyo satu-satunya orang yang bisa membantu saya dan Ibu." kata Aning sambil tetap menunduk. Kemudian Rako mengeluarkan surat yang ia temukan dan menyodorkannyapada Aning. "Ini tulisan kamu?" Rako bertanya pelan. "Alhamdulilah...Aning udah pikir udah hilang, Om dapat dari mana?" kata Aning. Wajahnya berubah sumringah.
"Di tempat kecelakaan itu. Maksud saya datang ke sini saya mau minta ijin untuk mengangkat masalah kamu ke media. Mudah-mudahan itu bisa membantu kamu dan Ibumu keluar dari masalah ini." jelas Rako dengan suara lirihnya.
"Apa benar Om bisa membantu Ibu?" tanya Aning tidak percaya.
"Aku akan berusaha semampuku. Jujur saja aku tersentuh dengan kisahmu dan Ibumu. Jadi bagaimana, boleh?" tanya Rako. Percakapan mereka terpotong. Ketika Mami datang dan meminta Rako pergi. "Kamu harus pergi!" kata Mami. "Ya sebentar lagi, bagaimana dek?" tanya Rako, sementara Mami menariknya keluar. Rako masih menunggu jawaban Aning. Kemudian Aning terlihat tersenyum dan mengangguk. Melihat isyarat Aning, segera Rako meninggalkan wisma itu.
Rako membuktikan janjinya. Kasus Aning dan Ibunya menjadi salah satu headline dari surat kabar tempat Rako bekerja. Selain itu juga, Rako menghubungi teman-temannya di Komnas Anak serta beberapa LSM untuk membantu Aning. Teman-teman Rako di LBH juga bersedia mendampingi Ibu Aning. Dalam waktu singkat, Aning sudah keluar dari lokalisasi itu. Ia kini tinggal di panti sosial. Sementara, kasus Ibu Aning juga mendapat penanganan yang serius. Pada sidang putusan, hakim memvonis 6 tahun kepada Ibu Aning.

6 TAHUN KEMUDIAN
Aning telah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Kini ia berdiri di depan pintu LP menunggu Ibunya. Di sampingnya berdiri Rako, wartawan yang dahulu membantunya. Seorang wanita paruh baya keluar dari pintu LP dengan senyum yang mengembang. Anak dan Ibu itu berpelukan dan tangis keduanya pun pecah. Rako nampak menyudahi tangis mereka. Ibu Aning meraih tangan Rako dan menciumnya. Ya, sekarang Rako bukan hanya pahlawan yang menolong mereka dari permasalahan. Rako adalah ayah Aning, suami ibunya.
Mereka bertiga meninggalkan pelataran LP itu dengan senyum bahagia. Satu keyakinan terpatri di benak mereka, di depan sana kebahagiaan telah menunggu untuk diraih.

kebahagiaan akan hadir di saat tepat dan cara yang indah                 

Wednesday, October 28, 2009

Tlah kudapatkan kembali Langitku

Pernah dengar kata-kata kebahagiaan akan hadir di saat yang tepat dan cara yang indah... Tanyakan padaku apakah kata-kata itu berhasil padaku!!! Kalau sekarang aku pasti akan menjawab YA...
Empat bulan yang lalu, aku berada pada titik nadir... Dia, yang kupanggil langit, yang selama ini kujadikan sandaran, padanya kurajut mimpi-mimpi masa depan, dengannya kucoba tuk lalui semua kegetiran meskpiun tertatih, dia memilih tuk menjauh. Aku yang selama lebih dari empat tahun dibawanya terbang ke langit ke tujuh seakan dijatuhkan begitu saja ke bumi. Aku terjatuh dan hancur. Aku marah, sakit hati, kecewa, terluka, dan hancur. Semua mimpi yang kubangun seketika hancur tak berpuing dan lenyap bagai debu yang dihembus angin. Sempat aku menggugat Tuhan atas semua ketidakadilan ini, mempertanyakan apa salahku. Dan terus saja menyalahkan orang lain, diri sendiri, bahkan Tuhan. Api kehidupan dalam ragaku seketika padam. Tak lagi berarti semua di luar diriku.
Tapi, kemudian aku disadarkan. Terus menyalahkan orang lain bahkan diri sendiri takkan merubah apapun. Toh, dia takkan kembali. Ku coba merenungkan semua yang terjadi. Dan aku tiba pada sebuah keputusan besar dalam hidupku. Kuputuskan untuk menenangkan batinku, salah satunya dengan menggunakan jilbab. Aku mencoba mencari sekeping jiwaku yang hilang. Mungkin selama ini aku telah salah karena telah menggantungkan harapan pada manusia, telah begitu mengagungkan dia yang kucintai dengan sangat.
Tuhan memang Maha Kuasa. Ia selalu menemukan cara yang indah untuk menyapa makhlukNya. Dengan Kuasanya ia mengembalikan Langit dengan cara yang Ia pilih. Mungkin aku telah kehilangan langit sebagai seorang laki-laki yang pernah kucintai. Tapi Tuhan dengan caraNya telah mengijinkan langit meninggalkan jejak di kehidupanku sekarang dan selanjutnya. Entah aku harus menganggap ini Karunia atau Hukuman dariNya. Tapi aku percaya Tuhan telah menyiapkan rencana indah buatku.
Aku menerima Langit dalam kehidupanku. Aku telah mendapatkan Langitku kembali dengan cara yang tak terduga. Laki-laki itu telah pergi tapi ia meninggalkan jejak darah yang akan terus mengikat kami berdua, selamanya. Kini aku bersama Langit, berjalan bersama melewati langkah-langkah yang aku yakin tak mudah. Senafas, sedetak, Sejiwa, Seraga...
Dan sekarang tanyakan aku apakah aku bahagia kini... :-) Di tengah tekanan, beban, dan langkah yang berat berjalan lewati semua seorang diri...Aku bahagia !!! Mungkin dengan format kebahagiaan yang berbeda dengan sebelumnya. Aku tetap bermimpi dan membangun mimpiku tapi mungkin semua jadi tak sama lagi.
Ini semua bukan tentang Aku dan lelaki itu. Ini semua bukan hanya tentang rasa cinta yang tak mungkin berbalas. Ini bukan hanya tentang berakhirnya sebuah hubungan.
Ini tentang sebuah mimpi yang hancur. Ini tentang sebuah asa yang mungkin kembali nyala meskipun redup. Ini tentang sebuah kehidupan baru yang harus diperjuangkan. Ini tentang mencari arti sebuah kebahagiaan.

Tuesday, October 27, 2009

Nge-Blog ampe Mati

Tanggal 27 Oktober ini katanya sih hari nge blog nasional...Weeeww, aku baru tahu sih heheheheh
Nothing special about this day, aku bangun jam 11 siang setelah tidur mulai jam 4 pagi... Cuma sih emang bedanya apa yang aku lakukan sebelum dan sesudah tidur...Yupiii Nge-Blog...Aktifitas yang baru-baru aja aku temuin keasyikannya (kemana aja aku nih selama ini)
Pengen buat tanggal 27 Oktober nih hari spesial sih...Setelah menimbang dan berpikir...Akhirnya kuputuskan
drendengdengdengdengdeng
Komitmen Ngeblog Ampe Mati

Susah nih bikin komitmen ini, tapi ya... harus ada yang spesial kan. Kalau ditanya kenapa aku bikin komitmen nggak penting kayak gitu. Weits itu penting ya, at least buat aku. Karena sebelumnya juga telah berkomitmen untuk menjadi seorang penulis. Penulis yang menulis bukan untuk alasan apapun di luar karena dia ingin menulis (termasuk uang dan popularitas hahahahah).
Dan perkara sampai kapan aku bakal menulis dan ngBlog...Mungkin sampai jari-jariku tak bisa lagi menekan tust-tust keyboard....
So... Happy Blogger Day n for me Happy a Commitment of Blogging Ever's Day Hahahahahaha


Monday, October 26, 2009

Bunyi dan Sunyi


burung berkicau
anjing menggonggong
laki-laki menjerit
berteriak...berteriak
kendaraan beradu gas
pesawat menggeram di langit
srigala melolong
melengking...melengking
lengkingan memekakkan telinga
aku bertanya akankah sunyi datang

Beku

aku duduk terdiam
tanpa kata-kata
tulangku gemetar
lututku mengkerut
kerongkonganku kering
bukan tanpa sebab
aku beku...jiwaku...ragaku...
aku beku
karna mata itu
mata elang itu
mata itu bukan milikku
aku ingin mata itu
untuk hangatku
jiwaku
ragaku
yang beku

Aku...Mengapa?

ketika tuturan tak lagi didengar
ketika tawa tak lagi berarti
ketika tangis tak lagi mengobati
lantas mengapa...
mengapa rintik hujan masih membasahi tanah
mengapa nafas masih menderu di dada
mengapa ruh masih melekat
toh...
hidup matiku tak berarti bagimu
ah ya... aku tahu
aku juga tak lebih berarti berada di dekatMu

Aku Perlu Lebih dari Sekedar Kata

aku perlu lebih dari sekedar kata
'tuk sampaikan apa yang ku ingin
aku perlu lebih dari sekedar cinta
'tuk pahami yang aku cinta
tapi...
tak lagi kupahami apa makna kata
dan arti cinta
mungkin juga...
tak penting lagi bagiku
apa sebuah kata dan sebentuk cinta itu berarti
karna sekarang kata dan cinta telah tunduk
tunduk pada sesuatu yang kini
perlahan menyergapku
maut....
cuihhhh...
hanya pada maut saja mereka tunduk
hahahahahahahaah
tapi...
memang pada mautlah aku tak mampu berkutik

Badai

Semilir angin untuk membasuh peluhku tak juga mengalir
Melainkan badai yang menghempas ragaku
Bukan badai yang kuinginkan
     tapi badailah yang menemaniku dalam kesendirian
Jika itu telah tersurat
Badai sebesar apapun akan kuterima
    dengan senyum
Krna hanya badai yang memelukku dalam kehangatan
   tanpa rasa rikuh...bersamaku
Badai...datanglah padaku

Saturday, October 24, 2009

Cinta Platonik : sekedar cinta atau simbol ikhlas

Beberapa waktu lalu aku terjebak dalam percakapan tentang cinta dengan seorang kawan. Tiba-tiba ia mencetuskan kata-kata, "Cinta yang tak harus memiliki itu platonik. Sakit jeh..." Kata-kata yang membuatku lantas berpikir, apakah memang "Cinta yang tak memiliki" atau cinta platonik itu memang hanya menyisakan kegetiran???
Benar jika cinta akan membawa kebahagiaan bagi dua insan yang merasakannya. Cinta akan meninggalkan bunga-bunga indah dalam kehidupan ketika cinta itu bersemi dan tumbuh. Namun bagaimana jika di perjalanan sebuah hubungan rasa cinta itu menghilang. Muncul ketidaknyamanan satu sama lain atau salah satu diantaranya. Pun ketika ternyata kita harus menerima kenyataan pasangan kita menemukan kembali kenyamanan dan cinta itu pada diri yang lain. Kalau sudah demikian apa kita masih tetap berkeras mempertahankan hubungan itu. Cinta memang harus diperjuangkan tapi juga tidak bisa dipaksakan, kan?
JIka sudah demikian, satu-satunya cara melepas dia meraih kebahagiaannya. Meskipun dengan demikian itu akan melukai kita yang masih merasa cinta. Mencintai yang demikian, mencintai yang tak dapat memiliki... Menyakitkan kah? Ya....itu memang sakit. Menghancurkan harapan dan impian mungkin. Tapi esensi dari Cinta bukankah sebuah Pengorbanan. Berbahagia saat melihat orang yang kita cintai bahagia. Tidak mudah memang. Tapi mungkin!!! Pengorbanan dalam cinta memang tidak mudah. Cinta Platonik memang tidak mudah dan menyakitkan.
Tapi semua akan sebanding. Ikhlas melepas bagian yang paling kita cintai untuk meraih cintanya dan kebahagiaannya jauh dari jangkauan kita akan membuat kita benar-benar bisa merasakan Cinta. Kita tak akan pernah menyadari arti dari seseorang sebelum kita kehilangannya. Melepas cinta untuk merasakan Cinta yang lebih kuat dan menguatkan.
Tak hanya sakit yang didapatkan dari cinta platonik. Karena rasa ikhlas melepaskannya akan membuatnya menjadi lebih istimewa. Hanya saja terkadang kita terlarut dalam rasa sakit dan kehilangan. Sibuk meratap dan menyalahkan orang lain. Padahal jika sejenak saja kita berhenti untuk menelisik rasa sakit dan mulai belajar ikhlas menerima semua, maka Cinta yang sesungguhnya akan hadir
;-)
   

Friday, October 23, 2009

Aku Sebuah Daun

aku sebuah daun
daun...
aku baru saja jatuh gugur
baru saja aku menikmati hembusan angin
sinar matahari yang memasuki pori-pori hijauku



tapi...
kini aku berada di bawah
di tanah...
terinjak-injak
dipermainkan oleh angin
terombang-ambing
tubuhku terkoyak-koyak
hancur
perih
ku ingin kembali-kembali
tubuhku... aku ingin tumbuhku kembali
aku tak mau terkoyak-koyak
aku ingin kembali di pucuk sana
aku sebuah daun
sebuah daun

Tuesday, October 20, 2009

Jika Saja


Jika saja aku dapat mengartikan setiap tetes air matamu
Jika saja aku dapat membaca setiap tarikan senyum di bibirmu
Jika saja aku dapat menafsirkan setiap hela nafas di dadamu
Jika saja itu terjadi....
Mungkin kamu masih ada di sisiku dan saling mempererat
tautan genggaman kita
Jika saja kamu tak terlarut dalam kebekuan diammu
dan
Aku terlalu bodoh untuk memaknakan semua


Thursday, October 15, 2009

Tubuh yang Salah

Ruh...Aku terlahir dengan ruh dan raga yang tak padu
Ruh...Ruhku melayang menari, mencari tempat bersemayam
Ragaku tak dapat menariknya kembali
Ruhku tak ingin menetap, ragaku tak ingin berpindah
Aku marah... Aku bingung...Ruhku...Ragaku...
Dengarlah teriakku...Bersatulah... Bersatulah demiku... Demi Tuanmu !!!


Ketika siang beranjak senja dan malam pun datang, aku selalu menjadi resah. Keresahan yang datang tak terduga dan mengendap terus pada diriku sepanjang malam. Keresahan yang begitu menyiksaku, sehingga dada ini begitu sesak dan kepalaku begitu berat juga oleh beban yang tak tahu pula apa sebabnya. Yang aku tahu, aku hanya tak suka sendiri dalam sepi ketika malam tiba. Kesendirian membuatku berpikir banyak hal dan itu tidak baik buatku. Karena dengan begitu aku akan sibuk mempertanyakan ini dan itu. Pertanyaan-pertanyaan yang kelewat pintar untuk mempertanyakan sesuatu yang tak mudah untuk dicari jawabannya.
Pertanyaan yang begitu sederhana tentang kedirianku. Tapi pertanyaan yang teramat sederhana itu justru sulit untuk kudapat jawabannya. Itu semua muncul lagi-lagi dalam keresahanku. Keresahanku terhadap kedirianku. Awalnya aku merasa resah karena sepertinya ada yang salah pada diriku. Aku seperti berada pada tubuh yang salah. Tapi mungkinkah Tuhan menciptakan makhluknya dengan tubuh dan jiwa yang tak padu? Ataukah mungkin Tuhan telah menempatkanku pada tubuh yang salah? Dan banyak pertanyaan lain yang senada dengan itu. Tapi setiap orang yang kumintai jawaban atas semua pertanyaan itu malah mengatakan aku gila atau terlalu bodoh menanyakan itu semua.
Dan begitulah aku, yang masih saja selalu resah ketika malam telah menghadang dan kemudian aku terlanjur terpenjara oleh sendiri dan sepi. Karena aku malas dikatakan gila dan bodoh ketika pertanyaan-pertanyaan itu mulai berkelebatan di otakku. Aku memilih untuk berada dalam keriaan dunia yang tidak memungkinkan aku untuk sendiri dan tenggelam dengan pikiranku.
***
Sebuah kamar yang begitu terang bermandi cahaya. Hampir semua bagian dalam kamar itu berwarna putih. Sehingga tak ada satupun sudut dalam kamar itu yang tak tersentuh cahaya lampu. Setan dan jinpun mungkin akan lebih segan jika akan berlama-lama di dalam kamar itu. Kerapian kamar itu menunjukkan bahwa pemilik kamar itu adalah perempuan.
Dan itu memang benar. Seorang perempuan tengah berlama-lama berpatut di depan cermin di kamarnya. Dia menyentuh wajah dalam cermin itu. Kemudian ia menjelajahi tubuh dalam cermin itu. Sesaat ia tersenyum samar, lantas pandangannya menyerubuk pada bagian tubuhnya yang menyimbolkan keperempuanannya. Senyum samarnya pun menghilang.
Ia pun berjalan menuju lemari pakaiannya. Ia mengambil segulung kain dan kembali ke depan cermin. Perempuan itu kemudian membebatkan kain itu di seputaran dadanya dan memastikannya tidak kendur. Ia menarik kain itu dengan kencang, sesaat ia nampak kesesakan karena napasnya tertahan. Tapi kemudian, ia lanjutkan membebat dadanya hingga ujung terakhir kain yang di tangannya. Setelah selesai, ia nampak tersenyum puas.
Perempuan itu memastikan kembali tidak ada yang salah pada tampilannya dari ujung kaki hingga kepala. Lantas, ia menekan saklar lampu kamarnya dan berjalan menjauhi kegelapan di belakangnya. Kamar yang ditinggalkannya kini gelap. Tidak ada lagi hujan cahaya seperti beberapa saat sebelumnya.
***
Sepanjang jalan di depan rumah sakit jiwa itu mulai penuh dengan motor dan manusia yang mengendarainya. Malam minggu ini begitu semarak, karena setiap bulannya di minggu terakhir jalanan ini berubah menjadi arena trek-trekan (balap) motor. Setelah langit beranjak gelap, satu persatu pengendara motor datang memenuhi jalan. Mereka kebanyakan datang berkelompok tapi ada juga yang datang seorang diri.
Di ujung jalan itu ada seseorang yang menggunakan pakaian serba kulit dan topi pet yang sedang dikerumuni oleh banyak orang lainnya. Ia nampak serius mengatur sesuatu dan berkali-kali melihat buku catatannya. Beberapa orang juga memberikan sejumlah uang padanya.
Di tengah lintasan terlihat lima motor beserta pengendaranya yang sudah siap. Semua pengendara itu telah siap berpacu kecepatan di lintasan yang telah disiapkan. Di depan para pengendara itu nampak dua orang perempuan muda dengan busana seksi sedang membawa bendera. Laki-laki yang tadi tengah sibuk menacatat dan menghitung uang, maju ke arena balapan.
"Yo...Semuanya, inget peraturannya siapa yang lebih cepet balik ke garis finish dan bawa bendera dia yang bakal menang." Laki-laki itu mengambil ancang-ancang meniup peluit di tangannya.
Bersamaan dengan bunyi peluit dan lambaian bendera, raungan motor menderu memecah jalanan. Lima motor saling memacu kecepatan untuk menjadi yang terdepan. Setelah beberapa menit ada satu motor yang nampak berbalik arah. Pengendara motor Tiger itu mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi sambil membawa bendera di tangan. Di belakangnya, tidak terau jauh, ada motor lain yang mencoba menyusulnya. Suasana semakin memanas ketika motor-motor itu hampir mendekati finish. Tapi kemudian sorak sorai muncul di antara penonton. Pengendara motor Tiger berhasil mencapai garis akhir lebih dulu. Ia mengibar-kibarkan bendera yang dibawanya dan turun dari motor yang dikendarainya. Pengendara motor itu melepas helm yang sedari tadi menutupi kepalanya. Seorang...ah entahlah dia sangat cantik jika harus dikatakan sebagai laki-laki, tapi....
***
Taman di tengah gedung dan ruang-ruang perkuliahan itu nampak asri. Beragam tanaman bunga, rumput, dan pepohonan membuat taman itu teduh. Beberapa bangku dari semen beton tersebar di sekitar taman itu. Jika jeda antara waktu kuliah, biasanya kantin ini akan dipenuhi oleh mahasiswa, selain tentu saja kantin dan sekretariat ormawa (organisasi mahasiswa).
Seorang perempuan muda dengan t-shirt hitam dan celana jeans sedang duduk santai di taman itu sambil membaca buku. Kacamata berbingkai tipis menghiasi wajahnya. Tatanan rambut yang pendek ia nampak sedikit tomboi tapi tetap saja terlihat anggun.
"Samantha !" Seseorang laki-laki dengan tubuh tegap tinggi memanggil sebuah nama dari arah belakang perempuan muda itu. Seketika perempuan muda itu menoleh ke belakang.
"Hai Yud, ada apa?" tanya perempuan yang bernama Samantha itu.
"Ini buku yang aku janjikan." Kata Yudha sambil menyerahkan sebuah buku pada Samantha.
"Kapan nih aku kembalikan?" Tanya Samantha sambil menerima buku itu.
"Terserah kamu Sam. Kan buku ini kamu buat skripsi. Kalau aku sih nggak terlalu perlu." Kata Yudha sambil kemudian duduk di samping Samantha.
Samantha sedikit rikuh ketika Yudha duduk di sampingnya. "Oh, thanks ya... aku pinjam dulu kalo gitu. " Jawab Samantha dengan sedikit menggeser duduknya menjauh dari Yudha.
"Ehm...malam ini kamu sibuk nggak...?" Tanya Yudha sambil melihat ke arah Samantha.
"Malam ini ya, ehm... kayaknya aku nggak bisa deh Yud. Aku harus ngerjain skripsi. Mungkin lain kali, ya. Samantha berkata sambil menutup buku yang dibacanya dan mmperbaiki letak kacamatanya. Samantha kemudian berdiri yang disambut keterjutan Yudha melihat Samantha yang tiba-tiba berdiri. "Maaf ya Yud, aku ada kelas lagi. Terima kasih bukunya." Samantha meninggalkan Yudha yang belum habis rasa terkejutnya.
Samantha berjalan meninggalkan taman dan menuju kelas kuliahnya. Ia mendekap buku yang tadi dibacanya  juga buku yang dipinjamkan Yudha padanya. Kemudian sepintas ia melihat sebuah kertas menyembul dari buku pinjaman Yudha. Samantha berhenti berjalan dan kemudian ia mengambil kertas yang tersembul itu. Ternyata sebuah amplop yang tertulis untuknya. Samantha nampak ragu untuk membuka amplop itu. Ia pun membuka amplop itu dan membaca isinya.
Samantha membaca surat itu dengan mengernyitkan keningnya. Samantha menggeleng-gelengkan kepala setelah membaca keseluruhan isi surat itu. "Yudha...Yudha...Kamu mengirimkan surat cinta pada orang yang salah." Samantha berkata sambil tersenyum. Ia meremas-remas surat itu dan membuangnya ke tong sampah . Samantha pun berlalu.
***
Aku larut dalam kekalutanku sekali lagi malam ini. Di tengah mandi cahaya terang aku meringkuk di pojok ruangan ini. Aku benci dengan bayangan dalam cermin itu. Aku benci dengan tubuh ini. Kubebat tubuh telanjangku dengan kain selimut putih yang kupunya. Tangisku pecah dalam ketakutan dan kebencian. Aku bangkit perlahan mendekati cermin itu. Bayangan itu.
"Kamu siapa?" Tanyaku.
Kemudian dia bilang "Aku adalah sejatimu perempuanku."
Mendengarnya sesuatu dalam diriku berontak dan akupun berteriak "Aku bukan kamu, makhluk yang lemah. Makhluk yang hanya bisa menangis. Makhluk yang hanya bisa bergantung dengan kekuatan lain di luar dirinya. Makhluk yang selalu tunduk dan patuh."
Bayangan dalam cermin itu kemudian tersenyum sinis. Tersenyum sinis padaku. "Lantas sekarang katakan padaku !! Kamu sendiri siapa, ha?? Seseorang yang mengingkari kediriannya dan kelaminnya." Katanya padaku.
"Aku...Aku tak pernah mengingkari apapun. Aku hanya terperangkap. Terperangkap di tempat yang salah." Kataku kemudian.
"Terperengkap?? Kamu tidak terperangkap cantik. Kamu cuma seorang pengecut. Kamu dengar kan, pengecut. Pengecut." Ia berkata padaku dan kemudian tertawa. Aku tak terima dengan apa yang dia katakan.
"Tidak, aku bukan pengecut. Bukan pengecut." Teriakku padanya. Aku beringsut pergi menjauh dari hadapan cermin itu. Kemudian, aku menyambar sebuah botol parfum dan berlari ke hadapan cermin itu kemudian melemparkannya. Cermin itu pecah berkeping-keping. Dan aku kemudian hanya dapat terduduk di lantai dan menangis.
Suara ketuk pintu kemudian terdengar bertalu-talu. "Non Samantha, non tidak apa-apa? Bibi' dengar suara kaca pecah." kata Bi' Nah dengan suara cemas.
Aku mengusap air mata dan menghentikan tangisku. "Nggak Bi', saya nggak apa-apa. Bi' Nah kembali saja." kataku kemudian. Aku berdiri dan menghapus sisa-sisa tangis dan ketakutan dari wajahku. Aku mengambil  segulung kain dari dalam lemari dan membebatkannya pada dadaku. Aku mulai terbiasa dengan rasa sesak  saat aku memakai bebatan kain itu. Dengan cepat, aku mengambil sebuah kaos hitam dan celana denim warna gelap yang kupunya. Aku memakainya dengan sigap karena aku tak memiliki banyak waktu lagi. Kuberikan gel pada rambutku dan menatanya seklimis mungkin. Aku memastikan sekali lagi tak ada raut sedih dan takut di wajahku. Setelah aku melihat semuanya telah siap, kuraih jaket kulit hitam yang kugantung  di lemari itu dan mengenakannya.
Aku membuka pintu dan kutemui Bi' Nah sedang berdiri memandangku. "Non ndak apa-apa?" tanya Bi' Nah. Aku hanya tersenyum memandangnya. Kemudian aku berkata, "Bi' tolong buka garasi. Saya mau keluar." Bi' Nah kemudian beringsut pergi ke garasi.
Aku mengambil kunci di laci dan kemudian berjalan menuju garasi. Bi' Nah nampak membuka pintu garasi ketika aku sampai di sana. "Mbak mau balapan lagi? Pulang jam berapa?" tanya Bi' Nah.
"Bibi' nanti tidur saja, saya bawa kuci cadangan." Aku segera menaiki motor dan memecah keheningan malam dengan suara motorku.
***
Aku memacu kecepatan menuju jalanan kota yang masih saja menunjukkan geliat kehidupan meskipun matahari telah lama terlelap dalam peraduannya. Tetapi aku tidak mengarahkann motorku ke tempat balapan liar yang belakangan ini selalu aku datangi. Aku memacu kecepatan menuju sebuah club yang paling happening di kota.
Keriaan kehidupan malam ibu kota seakan tidak pernah tidur. Di waktu ketika hampir semua makhluk terlelap dalam keheningan, tempat-tempat seperti cafe, club, pub, atau lounge justru baru memulai langkah untuk memutar roda kegiatannya. Dan, sekarang aku berada di antara mereka. Berada di antara keriaan dunia malam. Hingar bingar musik yang di-mixing oleh DJ berdentam-dentam sepenjuru ruangan yang penuh sesak dengan manusia dan bau alkohol. Semua orang menikmati musik dengan menggoyangkan badan atau hanya sekedar duduk dan minum-minum.
Aku mengambil tempat di depan bartender. Ini kali pertama aku datang ke tempat ini. Jadi kupikir tempat yang paling "aman" untukku adalah di depan bar. Paling tidak aku bisa leluasa menjelajahi tempat ini melalui pandanganku. Aku memesan segelas wisky pada bartender di depanku. Tak lama kemudian, di depanku sudah ada segelas wisky. Aku hanya memandangnya sekilas tanpa menyentuhnya, kemudian kembali aku mengedarkan pandangan.
Seorang perempuan muda dengan baju sangat seksi, menurutku, nampak berjalan mendekat ke arahku. Ia duduk di kursi yang ada di sebelahku yang memang kosong. Ia memesan minuman pada bartender. "Kamu baru pertama kali ke sini?" Ia bertanya padaku.
"Ya, kok tahu?" tanyaku sambil menyalahkan rokok. Mendengar pertanyaanku ia hanya tersenyum.
"Nggak pernah aja ngelihat kamu di sini. Sendiri?" tanyanya lagi. Akupun menganggukan kepala.
Ia mengulurkan tangannya padaku. "Ve." Ia menyebutkan namanya.
Aku menyambut uluran tangannya. "Namaku Sam." kataku pendek.
Setelahnya kami terlibat dalam pembicaraan yang hangat. Entah mengapa percakapan di antara kami berdua dapat dengan mudah cair. Bersama Ve, aku dapat membicarakan segala hal. Aku kagum dengan kecantikannya dan kepintarannya. Tawanya yang renyah entah mengapa membuat hatiku tergetar. Matanya yang bulat pingpong seakan memiliki magnet yang membuatku betah berlama-lama memandangnya.
"Sam, kamu ada acara lain nggak setelah ini?" tanyanya kemudian.
"Nggak ada, emangnya kenapa?" jawabku.
"Sini deh ikut aku." Ia berkata demikian setelah menghabiskan minuman di gelasnya. Ve lantas menarik tanganku dan kemudian bangkit dari duduknya.
"Ke mana?" aku bertanya pada Ve. Tapi ia tak menjawabnya, aku menahan langkahnya sejenak. "Tunggu...tunggu." Aku berkata sambil mengeluarkan sejumlah uang dan meletakkanya di atas bar. Ve kembali menarik tanganku dan kami berdua pun pergi dari club ini. Meninggalkan riuhnya dentam musik di belakang kami.
Aku dan Ve berjalan ke arah tempat parkir. Ia mengajakku ke tempat mobilnya diparkir. Kami berdua masuk ke dalam mobil. Ve duduk di belakang kemudi. Setelah aku masuk dan menutup pintu, Ve kemudian memutar audio di dalam mobilnya. Tapi Ve tak menjalankan mobilnya.
Ve memandangku dengan mata bolanya yang indah. "Aku tahu kamu bukan laki-laki, kamu perempuan sepertiku, ya kan?" katanya ringan. Ia kemudian tersenyum padaku. Aku terkejut mendengar apa yang dikatakan Ve. Aku tidak menyangka Ve menyadari bahwa aku perempuan.
"Tapi...kamu, bagaimana...maksudku darimana kamu bisa berpikir hal semacam itu." kataku terbata-bata. Ve kemudian tertawa mendengar jawabanku.
"Sudahlah, Sam...atau siapapun namamu, aku tahu dengan pasti lekuk-lekuk tubuh laki-laki dan perempuan. Meskipun..." Ve menghentikan kata-katanya dan memandang ke arah dadaku dan iapun tersenyum.
Aku kemudian terdiam dan membuang pandanganku jauh ke dapan. Di atas sana arak awan mendung telah memudar dan sebuah bintang perlahan berpendar semakin terang. Aku menarik nafas dengan berat, mungkin ini adalah akhir dari pelarianku selama ini.
"Aku...aku..." kalimatku tertahan, aku tak menemukan kata-kata yang paling tepat untuk menjelaskan semua yang aku rasakan.
Ve meletakkan jari telunjuknya di atas bibirku. "Aku nggak butuh penjelasan apapun dari kamu." Aku terpana mendengar apa yang ia katakan. Kutatap matanya dalam-dalam, terdapat oase kejujuran dan ketulusan di dalamnya. Entah mengapa aku begitu damai ketika memandang wajahnya. Tiba-tiba ia merengkuh tubuhku dalam pelukannya. Tak satupun cara yang aku lakukan untuk menghela tangannya atau menarik tubuhku menjauh darinya. Ve membuatku nyaman dengan apa yang ia lakukan padaku. Aku hanya terdiam dan bersandar dalam pelukannya.
***
Sebuah motor dengan raungan dan kecepatan yang tinggi memecah gelapnya malam. Pengendara motor itu nampak tidak menghiraukan orang-orang dan jalanan yang telah terlewat darinya. Kepala dan pandangannya hanya terpusat pada apa yang ada di hadapannya. Ia menyasar gelap malam dan menembus pekat dan dinginnya angin malam.
Batas kota ia lewati, tak satupun ada yang tahu tepatnya ke mana tujuan dan kapan motor itu akan berhenti. Jalanan masih saja sepi, meskipun masih ada satu atau dua orang yang masih saja sibuk dengan aktifitasnya. Kota yang masih padat dengan perumahan dan pertokoan telah ia lewati hingga pelosok yang disekelilingnya hanya ada hamparan sawah dan hutan-hutan pohon pinus. Pohon-pohon yang jika malam seperti ini nampak seperti prajurit yang siap menyerang kita setiap saat.
Motor itu menyusuri jalanan pegunungan yang berkelok-kelok. Tiba-tiba pengendara motor itu berhenti. Berhenti pada sebuah pinggiran tebing, ia memakirkan motornya begitu saja. Di pinggir tebing itu, ia hanya berdiri mematung tanpa berkata apapun. Kemudian ia melepaskan helmnya dengan cepat dan melemparnya ke jurang yang gelap di hadapannya.
"Aaaaa....Apa maksud ini semua Tuhan!" Perempuan itu berteriak dan menengadah ke langit yang telah kelam.
"Apa salahku hingga Kamu ciptakan aku dengan jiwa dan ragu yang tak padu. Jiwaku hampa dalam tubuh ini Tuhan, menjalani ini semua, sangat menyiksaku." teriak perempuan itu lagi. Ia jatuh terduduk dengan derai air mata di pipinya. Tangisnya seketika pecah. Dalam keheningan malam tangis itu begitu menyayat jiwa siapapun yang mendengarnya.
Perlahan tangis itu mereda, hanya ada suara binatang malam yang terdengar. Hening sejenak. Keheningan yang begitu mengerikan. Gerisik dedaunan yang dimainkan oleh angin malam itu semakin menghiasi keheningan malam itu. Tak ada lagi suara tangis dan ratap perempuan.
***
Dari kejauhan, jalan perbukitan itu nampak lengang. Sebuah siluet tubuh di ujung tebing itu nampak seperti hanya sebuah noktah kecil. Namun siluet itu tiba-tiba menghilang. Kemudian jauh di bawah tebing itu nampak sebuah noktah hitam meluncur ke jurang.

**Selesai**       

Ketika Yang Tersisa Hanyalah Air Mata

Hey kamu... Iya kamu... Kamu yang dulu datang lagi dalam hidupku dengan janji tuk tak lagi menghadirkan air mata di wajahku dengan jan...