Tuesday, May 18, 2010

Membaca Kamu

Membaca tentang cinta adalah membaca kamu
Membaca perihal benci adalah membaca kamu
Membaca luka adalah membaca kamu

Kamu membuatku menulis berlembar-lembar kisah
Kisah yang dulu telah kita jejakkan
dan
Kamu mampu pula membuatku mengakhiri kisah kita
dengan kisah yang membuatku enggan membuka lembar-lembar itu

Membaca kamu adalah perjalanan tiada henti
karena
Membaca kamu adalah membaca kisah kita
Membaca kenangan kita

Sungguh aku telah enggan membacamu, sayang
Membacamu hanya menorehkan air mata yang menggarami lukaku
Membacamu, sayang...
Membuatku terjerat kisah yang tak berkesudahan

Maka, maafkanlah aku sayang
Maafkanlah aku yang enggan membacamu lagi
Aku lelah
dan ku tahu kau pun pasti lelah

Membacamu, Membaca kita, Membaca kenangan
dan semua itu telah usai

Sunday, May 16, 2010

Kisah-kisah Perempuan oleh Perempuan

Gairah penulisan karya sastra kembali bangkit pada di Indonesia dekade ini. Terlebih karya sastra yang berbau perempuan dan feminis. Entah yang memang mempunyai muatan cerita mengenai dunia perempuan atau karya sastra yang dilahirkan dari “rahim” perempuan. Dari negeri sendiri terdapat beberapa nama misalnya Djenar Maesa Ayu dengan karya terbarunya Nayla, Herlinatiens dengan beberapa karya terdahulunya Garis Tepi Seorang Lesbian dan Dejavu, Ayu Utami dengan Saman dan Larung juga beberapa sastrawan lainnya yang semakin hari semakin banyak yang suka membongkar-bongkar dunia perempuan dalam karya-karyanya. 
Rupanya fenomena ini dapat dibidik dengan baik oleh Penerbit Jalasutra, yang beberapa terbitannya adalah karya-karya terjemahan, untuk ikut serta menghadirkan dunia perempuan dari sisi dunia yang berbeda, pada buku terbitannya kali ini. Dengan mengusung tematis tentang cerpen perempuan, antologi ini berisikan cerita-cerita mengenai kehidupan perempuan yang ditulis oleh 11 pengarang terkemuka dunia yang pernah mendapat penghargaan di dunia kepenulisan atau Nobel Sastra. Antara lain terdapat nama-nama seperti Virginia Woolf asal Inggris, Uyen Leowald asal Vietnam, Angeles Mastretta asal Meksiko, serta beberapa nama lainnya.
Para pengarang perempuan ini menyuguhkan cerita yang cukup apik mengenai kehidupan perempuan sesuai dengan kultur budaya mereka masing-masing. Hanya saja, pada cerita-cerita yang mereka usung kurang menunjukkan adanya “girl power”. Hanya ada beberapa cerpen yang menyiratkan adanya ketangguhan seorang perempuan yaitu pada cerpen Seorang Perempuan yang Jatuh Cinta Pada Laut karya Angeles Mastretta. Perempuan pada cerpen ini digambarkan sebagai seorang perempuan yang teguh pada pendiriannya dan rela meninggalkan keluarganya demi terwujudnya keinginannya yaitu melihat laut.
Cerita lainnya pada antologi ini lebih banyak memperlihatkan kehidupan perempuan, dengan beragam karakter yang dimiliki oleh masing-masing tokoh, yang “gak neko-neko”. Mereka seakan-akan hanya tunduk saja pada apa yang telah digariskan padanya dan menerimanya tanpa perlawanan yang berarti. Hal ini terlihat pada beberapa cerpen seperti Putri dari Polis karya Irena Adamidou, yang memperlihatkan ketundukkan seorang anak pada ibunya yang mengakibatkan masa depannya hancur. Atau pada cerpen lainnya yaitu Sprei Linen karya Dacia Maraini, cerpen ini menceritakan tentang seorang istri yang “tenang-tenang” saja ketika suaminya pulang dengan membawa perempuan lain. Ia juga tak bereaksi apa-apa ketika ia diperlakukan seperti pembantu di rumahnya sendiri. Namun, ia bereaksi keras ketika istri baru suaminya merusak sprei linennya. Serta beberapa cerita lainnya yang memiliki kekhasan pada setiap karakter tokoh perempuan yang dimiliki.
Meskipun pada antologi ini, kurang menunjukkan adanya kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Namun, kehadiran antologi yang “cukup ringan” ini memberikan sentuhan baru pada dunia sastra perempuan di Indonesia. Dengan berbagai warna dan karakter yang dibawa oleh masing-masing pengarang, sedikit banyak mungkin akan dapat memberikan inspirasi bagi sastrawan Indonesia untuk menampilkan karya yang lebih beragam.
Antologi ini cukup ringan untuk dibaca. Bagi perempuan Indonesia baiknya buku ini dijadikan sebagai pandangan baru untuk tidak lagi hanya pasrah pada apa yang telah digariskan untuknya. Berusaha dalam hidup untuk mendapatkan apa kita kehendaki itu sah-sah saja. Pada dasarnya perempuan mempunyai kesamaan hak dan kewajiban dalam hidup ini setara dengan laki-laki. 
Be a strong woman, why not?

Sebuah Fantasi atas Kepedihan Realita

:: Ulasan Potongan Cerita di Kartu Pos karya Agus Noor

Di lembar ini saya mencoba sedikit memberikan komentar atau ulasan atas  kumpulan cerpen terbaru dari Agus Noor—Potongan Cerita di Kartu Pos—yang jujur saja karya-karya Agus Noor terdahulu pun belum saya baca. Dengan begitu pengalaman pembacaan saya atas karya-karya Agus Noor sangat kurang. Saya hanya mengandalkan pengalaman pembacaan saya atas karya sastra lain atau pembacaan saya atas hidup. 

Satu hal yang pasti saya perhatikan dari sebuah buku adalah sampulnya. Saya tertarik dengan sampul atau cover buku ini. Konsep desain sampul itu sangat menarik. Sederhana namun penuh makna. Itu yang saya tangkap. Mengambil konsep sesuai dengan judulnya, berhubungan dengan kartu pos. Desain sampulnya pun mengadopsi konsep tersebut.

Satu daya tarik yang kuat adalah gambar lain di sampul tersebut. Yaitu gambar perempuan “peri” dengan busana hitam yang menengadah menuju cahaya. Saya lantas bertambah penasaran untuk membaca. Karena menurut asumsi saya, desain sampul pasti terkait dengan isi di dalamnya. Peri berbusana hitam entah mengapa saya identikkan dengan sesuatu yang buruk. Entah apakah, cerpen-cerpen di dalamnya berisikan tragedi atau apa.

Sayapun beranjak dari hanya sekedar melihat desain sampul kemudian mulai membaca cerpen-cerpen di dalamnya. Saya mengalami beberapa kali keterkejutan ketika membaca kumpulan cerpen ini. Betapa tidak, pengarang menawarkan cerita-cerita yang dengan khayalan tingkat tinggi  atau fantasi pengarang yang luar biasa di setiap cerpen. Pun ketika Agus Noor mencoba memotret realitas sosial kehidupan masyarakat yang berkembang dewasa ini.

Saat bercerita tentang penderitaan rakyat karena semua kebutuhan pokoknya tak dapat terpenuhi. Kelaparan dan bau kematian ada di mana-mana. Ketika mereka kaum-kaum yang terlupakan itu sudah tak tahu kemana mereka harus mengadu dan meminta pertolongan. Mereka pun mulai terbiasa menyimpan sendiri penderitaan dan tangis mereka. Dan tanpa mereka sadari bulir-bulir airmata mereka mengkristal (Potongan-Potongan Cerita di Kartu Pos hal 112).

Cerita yang menurut saya mencengangkan. Agus Noor berani menyulap dongeng tentang butiran air mata kristal dan disandngkan dengan dua cerita sekaligus yang menurut saya hasil pembacaannya pada dunia nyata. Bagaimana tidak, gosip perselingkuhan Ahmad Dhani dan Mulan terhadao Maiya  juga turut ditempelkan belum lagi cerita tragis masyarakat marginal dengan segala kekurangannya.

Atau kita bisa lihat kegilaan dan keliaran fantasi pengarang pada cerpen yang berjudul Komposisi untuk Sebuah Ilusi. Begitu liarnya Agus Noor menggambarkan dua sosok yang berlainan 180° yang sama-sama mengalami stagnansi dalam hidup, mereka adalah penjual obat dan sebuah boneka maneken. Digambarkan pula bagaimana mereka berdua sama-sama mengkhayalkan melakukan persetubuhan.

Kadang ia juga berkhayal, -betapa suatu malam- ketika hypermarket ini tutup dan semua pertokoan menjadi lengang- laki-laki itu muncul begitu saja dari balik gelap, dan dengan tergesa dan bernafsu mencopoti pakaiannya, menngelus pahanya yang licin berkilat, meremas payudaranya yang kencang, hingga ia menggelinjang...(hal 4).

Sepertinya maneken itu ingin menyerahkan seluruh tubuhnya. Agar ia gagahi. Agar ia setubuhi. Ini tubuhku penuh berahi, nikmati. Maneken itu mendengus minta dijamah. Minta disesah. Bahkan maneken itu seperti menginginkan tubuhnya ia cacah-cacah! Ia merasakan kelaminnya mengeras. Dan ia pun mulai meremas...
(hal 8).

Kedua  kutipan di atas menunjukkan bagaimana hebat dan liarnya fantasi pengarang untuk membentuk sebuah cerita yang GILA. Paling tidak pengarang ingin menyampaikan ya...kalau tidak dapat memperoleh kebahagiaan di dunia nyata, apa salahnya ciptakan kebahagiaan di dunia khayal. Hanya saja ending yang tragis rupanya lebih dipilih pengarang. Mungkin sekali, ia ingin menunjukkan bahwa bermain-main dengan dunia khayal bukanlah solusi untuk menyelesaikan masalah kehidupan.

Namun saya melihat keGANJILan di kumpulan cerpen ini. Tentu saja saya tidak menyukai sesuatu yang ganjil, jadi jelas ini MENGGANGGU saya. Seorang pengarang akan sangat dihargai akan orisinalitasnya, baik itu dalam hal ide cerita ataupun gaya penulisan. Ya, walaupun hal itu tak sepenuhnya dapat dilakukan, karena akan selalu ada keterkaitan antara karya sastra satu dengan lainnya.

Tetapi ketika membaca cerpen ini saya sangat terkejut (lagi), bagaimana tidak saya menemukan bagian-bagian yang telah saya baca pada karya sastra lain. Pada cerpen Sirkus (hal 16), banyak saya menemukan karakter hasil comotan dari karya lain. Mulai dari hobbit hingga aragog dan sapu nimbus yang telah dahulu ada pada karya Tolkien dan JK. Rowling.

Pengarang mungkin berkeinginan untuk membuat cerita fantasi layaknya Tolkien dan Rowling hanya saja mengapa ia tidak membuat karakter sendiri. Mengapa harus mencomot karakter yang sudah “jadi”? Ketika saya membaca cerpen Sirkus dan menemukan karakter-karakter tersebut spontan saya berucap “halah...njiplak” Untungnya karakter-karakter itu bukanlah pusat dari cerpen ini. Melainkan pada “tubuh-tubuh melayang” yang tubuh dan kepalanya kosong karena riwayat kehidupan mereka yang serba kekurangan. Mereka diambil dari sebuah bangsa yang hilang dari peradaban. Jadi walaupun sebentar saya telah dikecewakan karena penyomotan karakter itu sedikit terkikis dengan muatan cerita secara keseluruhan yang coba diangkat oleh pengarang.

Di lembar lain saya lagi-lagi dibuat terkejut. Cerpen Puzzle Kematian Girindra mengingatkan saya pernah ada sebuah karya yang menggunakan teknik penceritaan yang demikian. Meloncat-loncat dari bagian satu ke bagian lain, halaman satu ke halaman lain dan pembaca dapat menentukan sendiri alur mana yang ia kehendaki plus jalan cerita yang berbeda juga di tiap pilihannya. Yup, dan ingatan saya tertumbuk pada GOOSEBUMPS karya RL STINE, kebetulan dulu saya penikmat Goosebumps jadi saya hafal betul bagaimana alur yang menjadi ciri di setiap serinya.

Tapi ternyata bagaimanapun karya yang orisinal biasanya tetap lebih baik. Bukan bermaksud untuk membandingkan tapi bagaimana lagi saya harus membandingkan. Goosebumps dengan formula yang dibuat RL. Stine, lebih terstruktur dan jelas, tidak membingungkan. Di bagian bawah halaman terdapat petunjuk yang dapat kita pilih. Dan akan ditemukan berbagai jalan cerita dan berbagai akhir penceritaan yang sama-sama menegangkan dan jelas. Tapi untuk cerpen karya Agus Noor, jujur saja saya kebingungan membacanya. Niatnya untuk mengadopsi gaya penceritaan RL. Stine, namun ia terhambat dengan platform cerita yang hanya cerpen. Sehinggga ia tidak bisa bermain-main ending, hanya bermain-main dengan alur yang bukannya menyenangkan dan menegangkan tapi pembaca dibuat kesulitaan dan kebingungan.

Di luar itu semua , ya...patut dihargai usaha pengarang untuk mencoba menghadirkan cerita-cerita fantasi yang tidak hanya mengandalkan keliaran fantasi. Tapi cerita-cerita fantasi itu digunakan untuk memotret realita kehidupan masyarakat yang kian hari semakin semrawut. Harga-harga yang semakin melambung, pengangguran, anak-anak yang kurang gizi, flu burung, hingga masa-masa maraknya demo mahasiswa. Semua peristiwa-peristiwa aktual dengan sempalan kritik-kritik terhadap pemerintah itu menjadi tidak lagi tragis untuk dibaca karena diwarnai dengan kisah-kisah fantasi yang mengkamuflasekan semua itu.

Ya, memang karya Agus Noor ini memang layak dapat acungan jempol, satu saja tapi. Karena betapapun gaya penceritaan dan cerita yang diusung memang menarik dan layak baca, tapi saya agak kurang respek dengan penyomotan karakter dan juga teknik penceritaan yang ada pada kumpulan cerpen ini.

But, over all that’s not bad. So, read this book and watch out your imagination.       
         

Saturday, May 15, 2010

senjaku

kembali memeluk senja
senja yang memanduku datang ke pantai ini
pantai yang pernah kita tinggalkan dalam diam
perempuan ini masih sama
pantai ini tak berubah
senja pun masih setia dengan semburatnya

senja dengan sihirnya kembali menelusupkan rasa hangat
kehangatan rindu yang senantiasa membiusku
membiusku tuk kembali mengingatmu
kamu, langit yang memberikanku kasih Langit,
mengenangmu tidak dengan airmata
mengenangmu tidak dengan luka
tapi senja yang hadirkan CINTA

jejak

ada jejak yang tertingggal
pada setiap langkah

jejak yang menguarkan kerinduan
jejak yang isyaratkan luka
jejak yang menghadirkan kenangan

langkahku tak hanya berpijak pada pasir tepi pantai
tapi juga bebatuan di tebing
jejak itu tak dapat lagi kuhapus semua
layaknya jejak pasir yang seketika hilang disapu ombak
sebagian, jejakku terpatri begitu dalam

hah, jejak tetap akan menjadi jejak
membuatku terjaga tuk melihat kembali
sejauh mana langkahku

jejak...

Saturday, May 08, 2010

Sesederhana Kamu

Kini semua berjalan dengan sederhana
Begitu sederhana
Layaknya setiap hela nafas yang sealir dalam darahku

Bahagiaku sederhana
Mimpiku sederhana
Asaku sederhana

Kesederhanaan itu bernama tawamu, senyummu, bahagiamu...

Aku akan Diam

seribu telunjuk pun mengarah padaku dan mengatakan
aku pembohong
aku tak jujur
aku memfitnah
aku akan diam

sekuat apapun paksaan menghujamku tuk
jujur
memberitahukan kebenaran
memberikan bukti
aku akan diam

sehina
serendah
sekejam
semurah
apapun kalian menilaiku
aku akan diam

aku akan diam
karena aku tak perlu berbicara apapun
melakukan apapun
untuk membuktikan apapun
kepadamu
kepada kalian
kepada dunia

karena hidup ini milikku
karena ini adalah tubuhku
karena dia adalah anakku
karena kalian bukan Tuhan
dan aku bukan malaikat

maka aku akan diam

Menjejakkan Kata

::Kumpulan jejak-jejak kata di Facebook::

membisikkan jejak-jejak kata pada angin yang malam ini memaksaku lepas dari ritual senja tadi... jejak-jejak kata yang berharap kan tersampaikan pada dia di tempat hembusan angin ini bermuara...

berada di nadir kerinduan yang begitu menyiksa, senja kali ini lagi-lagi memilih airmata sebagai ritual penyambutannya... wajah malaikat itu terus membayang dalam langkahku, bukan maksud tuk menepiskannya jauh dari hidupku, tapi ia begitu suci tuk berkubang dalam lumpur hidupku

senja kali ini langit begitu memerah mencabik-cabik kesadaranku tuk tak lagi larut dalam ritual senja yang menyesakkan dengan air mata

aku hanya berusaha menyusun perca-perca kisah yang sempat terserak dan kembali merajut dan menyatukannya menjadi lembaran-lembaran jejak kehidupan

ayolah... aku bukan monumen yang tak punya rasa kecewa dan dendam, juga bukan toko grosir yang punya stok maaf yang melimpah, aku hanya perempuan yang mencoba berdamai dengan skenario hidup ini...

senja tadi aku berusaha mencari seberkas kenangan indah di kota ini, tapi sayangnya yang ketemukan adalah jejak-jejak luka yang hanya membawa airmata... ini yang membuatku jengah berada di kota ini...

jemariku kehilangan alur tariannya... kata-kata terlahir tak selancar malam-malam sebelumnya... apa harus kupaksakan mereka menari malam ini ataukah kubiarkan saja malam memeluk mereka dalam kedamaian

alasan dari semua skenario kehidupan dan perjalanan ini adalah karena aku mencintaimu, tak ada setitik pun keraguan dan penyesalan karenanya

perjalananku akan selalu menjadi koma, menunggu untuk terus dijejaki oleh kisah-kisah, akan selalu menjadi koma, koma, karena aku takkan pernah berhenti, mungkin sedikit memberi jeda, tapi bukan titik, hanya koma

Rindu, amat sangat rindu, ingin selalu berada di sisimu... setiap detiknya begitu menyiksa... satu-satunya cara menepis kerinduan ini hanya dengan menarikan jemari, menjejakkan kata, menyibukkan diri dengan merampungkan semua yang tertunda... Bukan bermaksud tuk menepiskanmu dari langkahku, hanya menunggu waktu yang t...epat, agar ku bisa memilikimu selamanya, tanpa segan, malu, takut, dan airmata


Cinta Melemahkanku???

Benar aku mencintainya
Sangat mencintainya
Tapi, kini aku harus mengenyahkan rasa cinta itu
Karena cinta telah membuatku lemah...

Benarkah itu?

Cinta membuatku rela menderita
Cinta pula lah yang membuatku rela berkorban apapun termasuk mimpiku
Cinta yang membuatku terjebak dalam dilema berkepanjangan...
Apa memang semua itu karena cinta?

Bukankah cinta seharusnya menguatkan
Bukankah cinta seharusnya menyembuhkan
Bukankah cinta seharusnya menghadirkan bahagia...

Jika ini bukan cinta, lantas apa?
Apa yang membuatku lemah?

Aku sungguh mencintainya...
Sungguh-sungguh cinta
Tapi semua menjadi tidak benar jika cinta ini membunuhku
Membunuhku perlahan

Aku dan Film -Yang Terampas dan Yang Putus

Yang Terampas dan Yang Putus, sebuah film pendek yang digagas oleh kawan-kawan, adik-adik, dan sahabat-sahabat saya di Sastra Indonesia Unair yang menyematkan nama Ksatria Pena sebagai identitas mereka. Mereka mempersembahkan film ini pada acara penghormatan dan mengenang kembali Chairil Anwar di bulan April mendatang. Saya tentu saja tidak akan membahas apa dan bagaimana isi dan jalan cerita film ini karena saya sedikit pun belum menyaksikannya. Saya sedikit banyak mengikuti perjalanan mereka dalam pembuatan film ini, itupun secara tidak langsung. Mengingat keberadaan saya yang tidak intens di kampus. Tapi di atas semua itu, saya sangat yakin bahwa film ini merupakan tonggak dimulainya masa-masa pembuktian bahwa Sastra Indonesia Unair memiliki generasi-generasi kreatif. Tidak hanya di dunia literasi tapi juga industri kreatif lainnya.

Lepas dari semua itu, saya, secara pribadi merasa perlu berkaca dan merenung kembali ketika membaca judul |Yang Terampas dan Yang Putus|...

Ya... Aku merasa menjadi sosok itu. Yang Terampas dan Yang Putus. Banyak hal yang telah terampas dalam hidupku. Banyak ikatan yang kuputuskan untuk langkah yang kemudian ku ambil. Menyesalkah aku? Sepertinya tidak. Paling tidak hingga detik ini aku masih tegak berdiri. Jika kemudiannya aku nampak menghilang dari semua rutinitas kehidupanku sebelumnya. Itu semata-mata merupakan konsekuensi dari keputusan yang telah ku ambil. Banyak hal yang terampas dariku. Mungkin juga bahagia dan senyum. Tapi tidak dengan HARAPAN.

Chairil, Aku, dan mungkin masih banyak orang-orang di luar sana pasti juga pernah merasakan menjadi seseorang Yang Terampas dan Yang Putus. Apapun dan bagaimanapun mereka dan kami. Ada satu hal yang pasti tak akan mampu dirampas oleh siapapun dari diri kami adalah HARAPAN dan MIMPI. Karena dengan dua hal itulah langkah-langkah kecil kami dapat kami tapaki. Meninggalkan segenap lara yang tersisa. Untuk setitik asa dan bahagia.



|in the middle of the night @ my little room|

Perempuanmu yang Kucinta

dia sinari langkahku layaknya mentari di kala pagi
dia damaikan jiwaku serupa senja di penghujung hari
dialah malaikat terindah yang tercipta untukku

ingin ku merengkuhnya tuk jadi milikku
takkan lepaskannya meski sejenak

tahukah kau betapa ku mencintanya
tahukah kau betapa ku memujanya

jika saja kau bukan sahabatku
jika saja dia bukan yang kau cinta

ku relakan malaikatku terbang bersamamu
cintamu kan bahagiakannya untukku
rengkuhanmu kan lindunginya atas namaku

malaikatku adalah perempuanmu
perempuanmu yang kucinta

Ketika Yang Tersisa Hanyalah Air Mata

Hey kamu... Iya kamu... Kamu yang dulu datang lagi dalam hidupku dengan janji tuk tak lagi menghadirkan air mata di wajahku dengan jan...