Sebuah Fantasi atas Kepedihan Realita
:: Ulasan Potongan Cerita di Kartu Pos karya Agus Noor
Di lembar ini saya mencoba sedikit memberikan komentar atau ulasan atas kumpulan cerpen terbaru dari Agus Noor—Potongan Cerita di Kartu Pos—yang jujur saja karya-karya Agus Noor terdahulu pun belum saya baca. Dengan begitu pengalaman pembacaan saya atas karya-karya Agus Noor sangat kurang. Saya hanya mengandalkan pengalaman pembacaan saya atas karya sastra lain atau pembacaan saya atas hidup.
Satu hal yang pasti saya perhatikan dari sebuah buku adalah sampulnya. Saya tertarik dengan sampul atau cover buku ini. Konsep desain sampul itu sangat menarik. Sederhana namun penuh makna. Itu yang saya tangkap. Mengambil konsep sesuai dengan judulnya, berhubungan dengan kartu pos. Desain sampulnya pun mengadopsi konsep tersebut.
Satu daya tarik yang kuat adalah gambar lain di sampul tersebut. Yaitu gambar perempuan “peri” dengan busana hitam yang menengadah menuju cahaya. Saya lantas bertambah penasaran untuk membaca. Karena menurut asumsi saya, desain sampul pasti terkait dengan isi di dalamnya. Peri berbusana hitam entah mengapa saya identikkan dengan sesuatu yang buruk. Entah apakah, cerpen-cerpen di dalamnya berisikan tragedi atau apa.
Sayapun beranjak dari hanya sekedar melihat desain sampul kemudian mulai membaca cerpen-cerpen di dalamnya. Saya mengalami beberapa kali keterkejutan ketika membaca kumpulan cerpen ini. Betapa tidak, pengarang menawarkan cerita-cerita yang dengan khayalan tingkat tinggi atau fantasi pengarang yang luar biasa di setiap cerpen. Pun ketika Agus Noor mencoba memotret realitas sosial kehidupan masyarakat yang berkembang dewasa ini.
Saat bercerita tentang penderitaan rakyat karena semua kebutuhan pokoknya tak dapat terpenuhi. Kelaparan dan bau kematian ada di mana-mana. Ketika mereka kaum-kaum yang terlupakan itu sudah tak tahu kemana mereka harus mengadu dan meminta pertolongan. Mereka pun mulai terbiasa menyimpan sendiri penderitaan dan tangis mereka. Dan tanpa mereka sadari bulir-bulir airmata mereka mengkristal (Potongan-Potongan Cerita di Kartu Pos hal 112).
Cerita yang menurut saya mencengangkan. Agus Noor berani menyulap dongeng tentang butiran air mata kristal dan disandngkan dengan dua cerita sekaligus yang menurut saya hasil pembacaannya pada dunia nyata. Bagaimana tidak, gosip perselingkuhan Ahmad Dhani dan Mulan terhadao Maiya juga turut ditempelkan belum lagi cerita tragis masyarakat marginal dengan segala kekurangannya.
Atau kita bisa lihat kegilaan dan keliaran fantasi pengarang pada cerpen yang berjudul Komposisi untuk Sebuah Ilusi. Begitu liarnya Agus Noor menggambarkan dua sosok yang berlainan 180° yang sama-sama mengalami stagnansi dalam hidup, mereka adalah penjual obat dan sebuah boneka maneken. Digambarkan pula bagaimana mereka berdua sama-sama mengkhayalkan melakukan persetubuhan.
Kadang ia juga berkhayal, -betapa suatu malam- ketika hypermarket ini tutup dan semua pertokoan menjadi lengang- laki-laki itu muncul begitu saja dari balik gelap, dan dengan tergesa dan bernafsu mencopoti pakaiannya, menngelus pahanya yang licin berkilat, meremas payudaranya yang kencang, hingga ia menggelinjang...(hal 4).
Sepertinya maneken itu ingin menyerahkan seluruh tubuhnya. Agar ia gagahi. Agar ia setubuhi. Ini tubuhku penuh berahi, nikmati. Maneken itu mendengus minta dijamah. Minta disesah. Bahkan maneken itu seperti menginginkan tubuhnya ia cacah-cacah! Ia merasakan kelaminnya mengeras. Dan ia pun mulai meremas...(hal 8).
Kedua kutipan di atas menunjukkan bagaimana hebat dan liarnya fantasi pengarang untuk membentuk sebuah cerita yang GILA. Paling tidak pengarang ingin menyampaikan ya...kalau tidak dapat memperoleh kebahagiaan di dunia nyata, apa salahnya ciptakan kebahagiaan di dunia khayal. Hanya saja ending yang tragis rupanya lebih dipilih pengarang. Mungkin sekali, ia ingin menunjukkan bahwa bermain-main dengan dunia khayal bukanlah solusi untuk menyelesaikan masalah kehidupan.
Namun saya melihat keGANJILan di kumpulan cerpen ini. Tentu saja saya tidak menyukai sesuatu yang ganjil, jadi jelas ini MENGGANGGU saya. Seorang pengarang akan sangat dihargai akan orisinalitasnya, baik itu dalam hal ide cerita ataupun gaya penulisan. Ya, walaupun hal itu tak sepenuhnya dapat dilakukan, karena akan selalu ada keterkaitan antara karya sastra satu dengan lainnya.
Tetapi ketika membaca cerpen ini saya sangat terkejut (lagi), bagaimana tidak saya menemukan bagian-bagian yang telah saya baca pada karya sastra lain. Pada cerpen Sirkus (hal 16), banyak saya menemukan karakter hasil comotan dari karya lain. Mulai dari hobbit hingga aragog dan sapu nimbus yang telah dahulu ada pada karya Tolkien dan JK. Rowling.
Pengarang mungkin berkeinginan untuk membuat cerita fantasi layaknya Tolkien dan Rowling hanya saja mengapa ia tidak membuat karakter sendiri. Mengapa harus mencomot karakter yang sudah “jadi”? Ketika saya membaca cerpen Sirkus dan menemukan karakter-karakter tersebut spontan saya berucap “halah...njiplak” Untungnya karakter-karakter itu bukanlah pusat dari cerpen ini. Melainkan pada “tubuh-tubuh melayang” yang tubuh dan kepalanya kosong karena riwayat kehidupan mereka yang serba kekurangan. Mereka diambil dari sebuah bangsa yang hilang dari peradaban. Jadi walaupun sebentar saya telah dikecewakan karena penyomotan karakter itu sedikit terkikis dengan muatan cerita secara keseluruhan yang coba diangkat oleh pengarang.
Di lembar lain saya lagi-lagi dibuat terkejut. Cerpen Puzzle Kematian Girindra mengingatkan saya pernah ada sebuah karya yang menggunakan teknik penceritaan yang demikian. Meloncat-loncat dari bagian satu ke bagian lain, halaman satu ke halaman lain dan pembaca dapat menentukan sendiri alur mana yang ia kehendaki plus jalan cerita yang berbeda juga di tiap pilihannya. Yup, dan ingatan saya tertumbuk pada GOOSEBUMPS karya RL STINE, kebetulan dulu saya penikmat Goosebumps jadi saya hafal betul bagaimana alur yang menjadi ciri di setiap serinya.
Tapi ternyata bagaimanapun karya yang orisinal biasanya tetap lebih baik. Bukan bermaksud untuk membandingkan tapi bagaimana lagi saya harus membandingkan. Goosebumps dengan formula yang dibuat RL. Stine, lebih terstruktur dan jelas, tidak membingungkan. Di bagian bawah halaman terdapat petunjuk yang dapat kita pilih. Dan akan ditemukan berbagai jalan cerita dan berbagai akhir penceritaan yang sama-sama menegangkan dan jelas. Tapi untuk cerpen karya Agus Noor, jujur saja saya kebingungan membacanya. Niatnya untuk mengadopsi gaya penceritaan RL. Stine, namun ia terhambat dengan platform cerita yang hanya cerpen. Sehinggga ia tidak bisa bermain-main ending, hanya bermain-main dengan alur yang bukannya menyenangkan dan menegangkan tapi pembaca dibuat kesulitaan dan kebingungan.
Di luar itu semua , ya...patut dihargai usaha pengarang untuk mencoba menghadirkan cerita-cerita fantasi yang tidak hanya mengandalkan keliaran fantasi. Tapi cerita-cerita fantasi itu digunakan untuk memotret realita kehidupan masyarakat yang kian hari semakin semrawut. Harga-harga yang semakin melambung, pengangguran, anak-anak yang kurang gizi, flu burung, hingga masa-masa maraknya demo mahasiswa. Semua peristiwa-peristiwa aktual dengan sempalan kritik-kritik terhadap pemerintah itu menjadi tidak lagi tragis untuk dibaca karena diwarnai dengan kisah-kisah fantasi yang mengkamuflasekan semua itu.
Ya, memang karya Agus Noor ini memang layak dapat acungan jempol, satu saja tapi. Karena betapapun gaya penceritaan dan cerita yang diusung memang menarik dan layak baca, tapi saya agak kurang respek dengan penyomotan karakter dan juga teknik penceritaan yang ada pada kumpulan cerpen ini.
But, over all that’s not bad. So, read this book and watch out your imagination.
Di lembar ini saya mencoba sedikit memberikan komentar atau ulasan atas kumpulan cerpen terbaru dari Agus Noor—Potongan Cerita di Kartu Pos—yang jujur saja karya-karya Agus Noor terdahulu pun belum saya baca. Dengan begitu pengalaman pembacaan saya atas karya-karya Agus Noor sangat kurang. Saya hanya mengandalkan pengalaman pembacaan saya atas karya sastra lain atau pembacaan saya atas hidup.
Satu hal yang pasti saya perhatikan dari sebuah buku adalah sampulnya. Saya tertarik dengan sampul atau cover buku ini. Konsep desain sampul itu sangat menarik. Sederhana namun penuh makna. Itu yang saya tangkap. Mengambil konsep sesuai dengan judulnya, berhubungan dengan kartu pos. Desain sampulnya pun mengadopsi konsep tersebut.
Satu daya tarik yang kuat adalah gambar lain di sampul tersebut. Yaitu gambar perempuan “peri” dengan busana hitam yang menengadah menuju cahaya. Saya lantas bertambah penasaran untuk membaca. Karena menurut asumsi saya, desain sampul pasti terkait dengan isi di dalamnya. Peri berbusana hitam entah mengapa saya identikkan dengan sesuatu yang buruk. Entah apakah, cerpen-cerpen di dalamnya berisikan tragedi atau apa.
Sayapun beranjak dari hanya sekedar melihat desain sampul kemudian mulai membaca cerpen-cerpen di dalamnya. Saya mengalami beberapa kali keterkejutan ketika membaca kumpulan cerpen ini. Betapa tidak, pengarang menawarkan cerita-cerita yang dengan khayalan tingkat tinggi atau fantasi pengarang yang luar biasa di setiap cerpen. Pun ketika Agus Noor mencoba memotret realitas sosial kehidupan masyarakat yang berkembang dewasa ini.
Saat bercerita tentang penderitaan rakyat karena semua kebutuhan pokoknya tak dapat terpenuhi. Kelaparan dan bau kematian ada di mana-mana. Ketika mereka kaum-kaum yang terlupakan itu sudah tak tahu kemana mereka harus mengadu dan meminta pertolongan. Mereka pun mulai terbiasa menyimpan sendiri penderitaan dan tangis mereka. Dan tanpa mereka sadari bulir-bulir airmata mereka mengkristal (Potongan-Potongan Cerita di Kartu Pos hal 112).
Cerita yang menurut saya mencengangkan. Agus Noor berani menyulap dongeng tentang butiran air mata kristal dan disandngkan dengan dua cerita sekaligus yang menurut saya hasil pembacaannya pada dunia nyata. Bagaimana tidak, gosip perselingkuhan Ahmad Dhani dan Mulan terhadao Maiya juga turut ditempelkan belum lagi cerita tragis masyarakat marginal dengan segala kekurangannya.
Atau kita bisa lihat kegilaan dan keliaran fantasi pengarang pada cerpen yang berjudul Komposisi untuk Sebuah Ilusi. Begitu liarnya Agus Noor menggambarkan dua sosok yang berlainan 180° yang sama-sama mengalami stagnansi dalam hidup, mereka adalah penjual obat dan sebuah boneka maneken. Digambarkan pula bagaimana mereka berdua sama-sama mengkhayalkan melakukan persetubuhan.
Kadang ia juga berkhayal, -betapa suatu malam- ketika hypermarket ini tutup dan semua pertokoan menjadi lengang- laki-laki itu muncul begitu saja dari balik gelap, dan dengan tergesa dan bernafsu mencopoti pakaiannya, menngelus pahanya yang licin berkilat, meremas payudaranya yang kencang, hingga ia menggelinjang...(hal 4).
Sepertinya maneken itu ingin menyerahkan seluruh tubuhnya. Agar ia gagahi. Agar ia setubuhi. Ini tubuhku penuh berahi, nikmati. Maneken itu mendengus minta dijamah. Minta disesah. Bahkan maneken itu seperti menginginkan tubuhnya ia cacah-cacah! Ia merasakan kelaminnya mengeras. Dan ia pun mulai meremas...(hal 8).
Kedua kutipan di atas menunjukkan bagaimana hebat dan liarnya fantasi pengarang untuk membentuk sebuah cerita yang GILA. Paling tidak pengarang ingin menyampaikan ya...kalau tidak dapat memperoleh kebahagiaan di dunia nyata, apa salahnya ciptakan kebahagiaan di dunia khayal. Hanya saja ending yang tragis rupanya lebih dipilih pengarang. Mungkin sekali, ia ingin menunjukkan bahwa bermain-main dengan dunia khayal bukanlah solusi untuk menyelesaikan masalah kehidupan.
Namun saya melihat keGANJILan di kumpulan cerpen ini. Tentu saja saya tidak menyukai sesuatu yang ganjil, jadi jelas ini MENGGANGGU saya. Seorang pengarang akan sangat dihargai akan orisinalitasnya, baik itu dalam hal ide cerita ataupun gaya penulisan. Ya, walaupun hal itu tak sepenuhnya dapat dilakukan, karena akan selalu ada keterkaitan antara karya sastra satu dengan lainnya.
Tetapi ketika membaca cerpen ini saya sangat terkejut (lagi), bagaimana tidak saya menemukan bagian-bagian yang telah saya baca pada karya sastra lain. Pada cerpen Sirkus (hal 16), banyak saya menemukan karakter hasil comotan dari karya lain. Mulai dari hobbit hingga aragog dan sapu nimbus yang telah dahulu ada pada karya Tolkien dan JK. Rowling.
Pengarang mungkin berkeinginan untuk membuat cerita fantasi layaknya Tolkien dan Rowling hanya saja mengapa ia tidak membuat karakter sendiri. Mengapa harus mencomot karakter yang sudah “jadi”? Ketika saya membaca cerpen Sirkus dan menemukan karakter-karakter tersebut spontan saya berucap “halah...njiplak” Untungnya karakter-karakter itu bukanlah pusat dari cerpen ini. Melainkan pada “tubuh-tubuh melayang” yang tubuh dan kepalanya kosong karena riwayat kehidupan mereka yang serba kekurangan. Mereka diambil dari sebuah bangsa yang hilang dari peradaban. Jadi walaupun sebentar saya telah dikecewakan karena penyomotan karakter itu sedikit terkikis dengan muatan cerita secara keseluruhan yang coba diangkat oleh pengarang.
Di lembar lain saya lagi-lagi dibuat terkejut. Cerpen Puzzle Kematian Girindra mengingatkan saya pernah ada sebuah karya yang menggunakan teknik penceritaan yang demikian. Meloncat-loncat dari bagian satu ke bagian lain, halaman satu ke halaman lain dan pembaca dapat menentukan sendiri alur mana yang ia kehendaki plus jalan cerita yang berbeda juga di tiap pilihannya. Yup, dan ingatan saya tertumbuk pada GOOSEBUMPS karya RL STINE, kebetulan dulu saya penikmat Goosebumps jadi saya hafal betul bagaimana alur yang menjadi ciri di setiap serinya.
Tapi ternyata bagaimanapun karya yang orisinal biasanya tetap lebih baik. Bukan bermaksud untuk membandingkan tapi bagaimana lagi saya harus membandingkan. Goosebumps dengan formula yang dibuat RL. Stine, lebih terstruktur dan jelas, tidak membingungkan. Di bagian bawah halaman terdapat petunjuk yang dapat kita pilih. Dan akan ditemukan berbagai jalan cerita dan berbagai akhir penceritaan yang sama-sama menegangkan dan jelas. Tapi untuk cerpen karya Agus Noor, jujur saja saya kebingungan membacanya. Niatnya untuk mengadopsi gaya penceritaan RL. Stine, namun ia terhambat dengan platform cerita yang hanya cerpen. Sehinggga ia tidak bisa bermain-main ending, hanya bermain-main dengan alur yang bukannya menyenangkan dan menegangkan tapi pembaca dibuat kesulitaan dan kebingungan.
Di luar itu semua , ya...patut dihargai usaha pengarang untuk mencoba menghadirkan cerita-cerita fantasi yang tidak hanya mengandalkan keliaran fantasi. Tapi cerita-cerita fantasi itu digunakan untuk memotret realita kehidupan masyarakat yang kian hari semakin semrawut. Harga-harga yang semakin melambung, pengangguran, anak-anak yang kurang gizi, flu burung, hingga masa-masa maraknya demo mahasiswa. Semua peristiwa-peristiwa aktual dengan sempalan kritik-kritik terhadap pemerintah itu menjadi tidak lagi tragis untuk dibaca karena diwarnai dengan kisah-kisah fantasi yang mengkamuflasekan semua itu.
Ya, memang karya Agus Noor ini memang layak dapat acungan jempol, satu saja tapi. Karena betapapun gaya penceritaan dan cerita yang diusung memang menarik dan layak baca, tapi saya agak kurang respek dengan penyomotan karakter dan juga teknik penceritaan yang ada pada kumpulan cerpen ini.
But, over all that’s not bad. So, read this book and watch out your imagination.
Comments
tapi nama Agus Noor, bisa jadi jaminan mutu.
sampul buku memang pengaruh banget ya untuk mood bacanya