Ketika Laki-laki Mengisahkan Tentang Rahim

Rahim, Sebuah Dongeng Kehidupan
Sebuah novel yang mampu membuatku terpaku membacanya hingga beberapa lama. Mungkin terdengar klise atau terlalu berlebihan. Tapi ya... katakanlah setiap karya akan memiliki nilai "lebih" ketika nilai-nilai yang coba disampaikan penulis melalui karyanya itu dapat diterima oleh pembacanya. Atau ketika sang pembaca merasa memiliki ikatan dengan karya tersebut mungkin karena karya tersebut laksana cermin bagi kehidupannya.
Dari sekian banyak karya yang kubaca, Rahim karya Fahd Djibran mampu mengaduk-aduk emosiku bahkan sejak melihat sampulnya saja. Meskipun sejak sebelum memutuskan untuk membeli dan membaca novel ini pun aku sudah berasumsi bahwa aku akan mudah takluk dengan kisah-kisah seputar kelahiran, kehamilan, kehidupan baru, rahim, bayi, aborsi, dan sebagainya. Dan asumsiku pun benar (semoga aku tak pernah salah menafsirkan apa yang kurasakan).
Mungkin kalian bertanya, apa istimewanya novel Rahim ini? Beberapa tahun silam aku pernah membaca karya serupa dengan Rahim, kalau tidak salah berjudul Fetussaga karya Jamal. Mengapa aku bilang serupa, hal ini karena kedua novel ini sama-sama berkisah tentang kehidupan di dalam rahim Ibu. Lantas apa istimewanya novel Rahim? Ada beberapa hal yang mungkin menurut saya Rahim karya Fahd Djibran ini memiliki "rasa" yang berbeda.
Yang pertama karena Fahd meramu semua informasi yang ia ketahui tentang kehamilan dan dunia rahim menjadi sebuah novel dengan gaya penceritaan yang "berbeda". Ia menjejali pembaca dengan berbagai informasi "medis", nilai-nilai moral, pesan cinta, dll dengan cara mendongeng dan mengajak pembaca berdialog. Hal ini secara tidak sadar mampu mengikat emosi pembaca untuk terus larut dalam dongeng yang ia sampaikan.
Kedua, berkaitan dengan poin sebelumnya, banyaknya informasi yang diberikan dalam novel ini serta dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi yang ada di dalamnya membuat pembaca secara mudah memvisualisasikan imajinasi mereka. Bagiku, kekuatan Fahd dalam novel ini adalah ia mampu mendeskripsikan secara detail apa saja yang mungkin terjadi di dalam rahim.
Yang selanjutnya ini mungkin terdengar begitu subjektif. Seperti yang sempat kusampaikan di awal catatan ini, sebuah karya akan mempunyai nilai lebih ketika sang pembaca merasa memiliki ikatan terhadap karya tersebut. Aku menangis, sejak awal membaca novel ini. Untuk kali ini, aku tak dapat menafsirkan arti tangisan itu. Kisah di awal novel yang menggambarkan beragamnya reaksi laki-laki tentang sebuah kehamilan. Ada yang berbinar bahagia, ada pula yang dingin menolak. Atau kisah lain tentang banyaknya pasangan yang melakukan aborsi karena tidak siap menjadi orang tua atau kisah pasangan yang puluhan tahun tak mendapat keturunan. Dari situ saja perasaan saya sudah diaduk-aduk.
Semakin banyak lembar-lembar yang kubaca. Yang kurasakan adalah ngilu, entah bagian mana dari tubuhku yang begitu sakit serasa tercabik-cabik.
Novel ini, semakin membuatku percaya bahwa setiap anak yang dititipkan pada rahim kita, entah apakah ia buah dari ritual suci yang diiringi doa ataupun buah dari apa yang dianggap sebuah kesalahan, adalah sebuah anugerah yang layak untuk diperjuangkan dan dipertahankan.
Aku kagum pada Fahd, seorang laki-laki, suami, dan calon ayah, yang berusaha memaknai setiap detik hadirnya calon buah hatinya di rahim istrinya dan menuangkannya pada sebuah karya yang indah. Andai semua laki-laki mampu menyadari betapa berartinya menjadi seorang ayah dan orang tua. Andai semua laki-laki menghargai setiap kehidupan yang hadir di rahim perempuannya. Andai semua orang, laki-laki dan perempuan, tidak berbuat bodoh dengan menghilangkan kesempatan sebuah kehidupan untuk terlahir di dunia. Andai semua orang, laki-laki dan perempuan, menyadari bahwa apapun kesalahan mereka, seorang anak yang baru terlahir adalah manusia suci tanpa dosa. Andai saja... mereka membaca novel ini, jauh sebelum mereka memutuskan untuk mengaborsi janin, membunuh anak-anak mereka yang baru terlahir, meninggalkan perempuannya yang tengah hamil dalam kekalutannya seorang diri, menyia-nyiakan kehidupan yang dititipkan Tuhan pada mereka... Andai saja....
Andai semua itu terjadi, maka tidak akan ada kisah-kisah menyakitkan lagi tentang anak-anak yang ditolak, anak-anak yang dibunuh, janin-janin yang berguguran. Tidak akan ada lagi keputus asaan...
Ketika laki-laki mengisahkan tentang rahim, maka seharusnya kisah itu tak hanya habis dalam lembar-lembar yang mungkin akan usang seiring dengan waktu. Tapi kisah ini harus terus dikabarkan dari satu orang ke orang lain, dari perempuan satu ke perempuan lain, laki-laki satu ke laki-laki lain, anak satu ke anak lain. Dan ketika kisah ini terus terus terkabarkan, Rahim bukan lagi menjadi sebuah dongeng tentang kehidupan. Tapi akan berubah menjadi sebuah kesadaran massal atas pentingnya sebuah kehidupan bahkan sejak berada di dalam rahim.


ps:
1. Ada sebuah catatan lama yang kutemukan kembali sembari aku membaca Rahim, aku pikir jika Rahim  diceritakan oleh laki-laki, maka catatan ini adalah kisah dari seorang perempuan, silahkan intip di sini
2. Catatan ini juga bisa dilihat Rahim Semesta

Comments

Popular posts from this blog

Apakah Catatan Saya Berguna??

Ukiran Sebuah Pertemuan

Pijar Lentera Keempat Kemudian Padam