Saya Benci Film SURGA YANG TAK DIRINDUKAN


Ya, Saya benci film SURGA YANG TAK DIRINDUKAN (SYTD). Kesimpulan ini semakin kuat setelah saya akhirnya menonton film ini semalam.

Sejak awal film SYTD dipromosikan secara gencar di berbagai media baik online maupun elektronik, saya sudah apatis. Begitu tahu tema yang diusung adalah POLIGAMI, saya semakin melangkah mundur.

Secara pribadi, saya membenci ide tentang POLIGAMI. Bukan karena saya membenci ketentuan Allah SWT yang memperbolehkan suami memiliki istri lebih dari satu. Hanya saja, sekarang ini jika dalih yang digunakan adalah ketentuan Allah SWT dan Sunnah Rasul hanya dijadikan sebagai "alat" saja. Dari semua istri Nabi Muhammad SAW, hanya satu yang berusia muda, yang lainnya berusia lebih tua dan janda. Sementara, pelaku poligami saat ini? Ahh... cukup saya membahas tentang mengapa saya tidak sepakat untuk yang satu ini.

Kembali saya akan bahas tentang film SURGA YANG TAK DIRINDUKAN (SYTD). Dengan alasan yang saya sebut di atas, saya cukup yakin bahwa film ini tidak akan pernah masuk dalam list film yang saya lihat, baik itu di bioskop atau televisi. Dalam pikiran saya, film ini pasti hanya alat propaganda untuk melanggengkan ide poligami di tengah masyarakat.

Namun jujur, gencarnya promosi yang dilakukan oleh produser film ini, ke berbagai media sempat membuat saya penasaran. "Apa sih maunya orang ini? Dhamoo Punjabi, Asma Nadia, Hanung Bramantyo, dan para pemerannya ini? Ide apa yang mau mereka usung? Apa alasan mereka untuk membenarkan poligami itu dalam rumah tangga?"

Semalam (20/7), saat saya sudah ada bioskop untuk menonton film lainnya dengan suami. Entah mengapa, saya berubah pikiran dan membeli tiket untuk nonton film SURGA YANG TAK DIRINDUKAN. Pikiran saya saat itu, paling gak saya punya bahan untuk semakin kukuh pada pendapat saya.

Saya melangkahkan kaki masuk ke theater dengan setengah hati dan sedikit menyesal, kenapa tadi saya berubah pikiran. Dan saya berpikir 124 menit ke depan adalah waktu terlama dan paling membosankan sepanjang hidup saya, karena harus melihat film yang secara ide tidak saya sukai.

Film yang digarap bersama oleh Dapur Film milik Hanung Bramantyo dan MD Picture ini memiliki setting Yogyakarta. Untuk pemilihan setting ini, cukup membuat saya semakin "jleb". Kota yang memiliki sejuta kenangan indah bagi saya. Ada Laudya Chintya Bella yang berperan sebagai Arini, Fedi Nuril sebagai Prasetya, dan Raline Shah sebagai Meirose. Di samping tiga nama itu ada nama nama lain, Zaskia Adya Mecca (yang hampir selalu ada di semua film Hanung), Landung Simatupang, Tanta Ginting, Sitoresmi Prabuningrat, Kemal Pahlevi, Vitta Mariana, dan Sandrinna Michelle yang berperan sebagai anak Pras dan Arini, Nadia.

Kisah dimulai dengan pertemuan Pras dan Arini yang berlanjut bagai dongeng. Mereka Ta'aruf dan akhirnya menikah. Memiliki anak yang cantik, rumah yang indah dengan latar belakang sawah dan gunung, karir yang bagus bagi keduanya. Semua indah bagai dongeng. Hingga muncul tokoh Meirose yang dengan segala problematika hidupnya berhasil membuat Pras "terjebak" untuk menikahinya. Mengesampingkan perasaan Arini, menepikan amanah ayah Arini untuk tidak menyakiti hatinya.

Dan konflik bagi laki laki beristri dua pun dimulai, adegan adegan Pras yang kebingungan mengatur waktu antara Arini dan Meirose, pekerjaanya yang terbengkalai, Hingga puncaknya saat Arini mengetahui pernikahan Pras dan Meirose.

Bagi saya, poin penting dalam film ini sebenarnya bukan ada dalam diri Pras, Arini, dan Meirose. Meskipun ketiganya memang pemeran utama. Namun yang menggerakkan alur dan konflik film ini adalah peran ibu Arini. Di saat scene ayah Arini meninggal, terkuaklah ternyata ayahnya memiliki istri lain yang diketahui oleh ibunya. Bertahun tahun sang Ibu menyembunyikannya dari Arini. Bagaimana keikhlasan, kekuatan, sikap nerimo, yang dimiliki ibu Arini saat menjelaskan kisahnya mengapa mau dimadu, yang secara tidak sadar mengarahkan jalan cerita ini. Salah satu adegan yang mengganggu pikiran saya saat Arini menanyakan pada ibunya bagaimana rasanya saat ibunya tahu sang ayah akan menikah dengan orang lain. Sang Ibu yang diperankan Sitoresmi menjawab dengan tenang bahwa memang sakit hatinya pada saat itu, sama yang dirasakan Arini, namun karena ia memikirkan jauh ke depan, tidak hanya soal ego pribadi, sakit hati pribadi, karena ada anak, yaitu Arini. Sang Ibu memikirkan masa depan anaknya, mewujudkan dongeng anaknya tentang keluarga madaniyah. Dan ketika Arini melakukan yang sama, dengan menerima Meirose, saya pikir di situlah kekuatan peran Ibu Arini.

Dia telah berhasil menunjukkan kepada Arini, memang ada yang harus dikorbankan untuk mewujudkan dongeng yang indah, tidak hanya bagi kita, tapi juga anak anak. Sang Ibu berhasil mengarahkan Arini untuk berdamai dengan keadaan, belajar untuk ikhlas, belajar untuk menerima semua ketentuan Allah SWT.

124 menit, ya 124 menit yang panjang. 124 menit saya disuguhi oleh gambar adegan yang membuat saya harus menahan nafas, menahan sakitnya di dada, mengusap air mata, dan mencerna semua adegan dan dialog.

Saya membenci film ini karna berhasil mengoyak ego saya, ide tentang dongeng sempurna yang saya bangun sejak dulu. Saya membenci film Surga yang Tak Dirindukan karena akhirnya membuat saya kembali berpikir, apa memang harus demikian? Apa memang harus sebegitu menyakitkannya?

Sama seperti Arini, saya juga tidak mengharapkan surga yang semacam itu. Saya tentu tidak akan mungkin setegar Arini atau ibunya yang bisa ikhlas dan menerima membagi hati dan berbagi suami dengan perempuan lain. Tapi yang akhirnya saya percaya setelah melihat film ini semua skenario yang dibuat oleh Allah SWT tentu terjadi bukan tanpa maksud. Tugas saya dan kita sebagai pelakon di dunia ini hanya harus memerankan sebaik mungkin.

Saya membenci film ini. Sungguh membencinya karena berhasil membuat saya yang dulu pongah dengan dongeng yang saya miliki menjadi bimbang. Memang bukan Surga yang seperti itu yang saya rindukan. Ada banyak monolog yang saya lakukan semenjak semalam. Dan saya masih belum bisa menempatkan diri sebagai perempuan dalam film itu.

Setelah melihat film ini saya teringat dengan sebuah kata kata yang bertahun tahun lalu diberikan seseorang pada saya

di saat kamu ikhlas melepaskannya 
di titik itulah sesungguhnya kamu telah mendapatkannya kembali 

Bagaimana ending film yang membuat jiwa raga saya mendidih ini? Anda harus melihatnya sendiri! Anda harus membuktikannya sendiri dan kembali mendefinisikan dongeng Anda! 




Comments

Unknown said…
memang di film ini banyak kejanggalan, tetapi kalau masalah film ini harus lebih ke kehidupan masa lalu ibunya arini, menurut saya tidak tepat. Film harus lebih mengkrucut kemana arahnya,karena keterbatasan durasi, dan itu hak sutradara dan penulis skenario.

Popular posts from this blog

Apakah Catatan Saya Berguna??

Ukiran Sebuah Pertemuan

Pijar Lentera Keempat Kemudian Padam