Tubuh yang Salah
Ruh...Aku terlahir dengan ruh dan raga yang tak padu
Ruh...Ruhku melayang menari, mencari tempat bersemayam
Ragaku tak dapat menariknya kembali
Ruhku tak ingin menetap, ragaku tak ingin berpindah
Aku marah... Aku bingung...Ruhku...Ragaku...
Dengarlah teriakku...Bersatulah... Bersatulah demiku... Demi Tuanmu !!!
Ketika siang beranjak senja dan malam pun datang, aku selalu menjadi resah. Keresahan yang datang tak terduga dan mengendap terus pada diriku sepanjang malam. Keresahan yang begitu menyiksaku, sehingga dada ini begitu sesak dan kepalaku begitu berat juga oleh beban yang tak tahu pula apa sebabnya. Yang aku tahu, aku hanya tak suka sendiri dalam sepi ketika malam tiba. Kesendirian membuatku berpikir banyak hal dan itu tidak baik buatku. Karena dengan begitu aku akan sibuk mempertanyakan ini dan itu. Pertanyaan-pertanyaan yang kelewat pintar untuk mempertanyakan sesuatu yang tak mudah untuk dicari jawabannya.
Pertanyaan yang begitu sederhana tentang kedirianku. Tapi pertanyaan yang teramat sederhana itu justru sulit untuk kudapat jawabannya. Itu semua muncul lagi-lagi dalam keresahanku. Keresahanku terhadap kedirianku. Awalnya aku merasa resah karena sepertinya ada yang salah pada diriku. Aku seperti berada pada tubuh yang salah. Tapi mungkinkah Tuhan menciptakan makhluknya dengan tubuh dan jiwa yang tak padu? Ataukah mungkin Tuhan telah menempatkanku pada tubuh yang salah? Dan banyak pertanyaan lain yang senada dengan itu. Tapi setiap orang yang kumintai jawaban atas semua pertanyaan itu malah mengatakan aku gila atau terlalu bodoh menanyakan itu semua.
Dan begitulah aku, yang masih saja selalu resah ketika malam telah menghadang dan kemudian aku terlanjur terpenjara oleh sendiri dan sepi. Karena aku malas dikatakan gila dan bodoh ketika pertanyaan-pertanyaan itu mulai berkelebatan di otakku. Aku memilih untuk berada dalam keriaan dunia yang tidak memungkinkan aku untuk sendiri dan tenggelam dengan pikiranku.
***
Sebuah kamar yang begitu terang bermandi cahaya. Hampir semua bagian dalam kamar itu berwarna putih. Sehingga tak ada satupun sudut dalam kamar itu yang tak tersentuh cahaya lampu. Setan dan jinpun mungkin akan lebih segan jika akan berlama-lama di dalam kamar itu. Kerapian kamar itu menunjukkan bahwa pemilik kamar itu adalah perempuan.
Dan itu memang benar. Seorang perempuan tengah berlama-lama berpatut di depan cermin di kamarnya. Dia menyentuh wajah dalam cermin itu. Kemudian ia menjelajahi tubuh dalam cermin itu. Sesaat ia tersenyum samar, lantas pandangannya menyerubuk pada bagian tubuhnya yang menyimbolkan keperempuanannya. Senyum samarnya pun menghilang.
Ia pun berjalan menuju lemari pakaiannya. Ia mengambil segulung kain dan kembali ke depan cermin. Perempuan itu kemudian membebatkan kain itu di seputaran dadanya dan memastikannya tidak kendur. Ia menarik kain itu dengan kencang, sesaat ia nampak kesesakan karena napasnya tertahan. Tapi kemudian, ia lanjutkan membebat dadanya hingga ujung terakhir kain yang di tangannya. Setelah selesai, ia nampak tersenyum puas.
Perempuan itu memastikan kembali tidak ada yang salah pada tampilannya dari ujung kaki hingga kepala. Lantas, ia menekan saklar lampu kamarnya dan berjalan menjauhi kegelapan di belakangnya. Kamar yang ditinggalkannya kini gelap. Tidak ada lagi hujan cahaya seperti beberapa saat sebelumnya.
***
Sepanjang jalan di depan rumah sakit jiwa itu mulai penuh dengan motor dan manusia yang mengendarainya. Malam minggu ini begitu semarak, karena setiap bulannya di minggu terakhir jalanan ini berubah menjadi arena trek-trekan (balap) motor. Setelah langit beranjak gelap, satu persatu pengendara motor datang memenuhi jalan. Mereka kebanyakan datang berkelompok tapi ada juga yang datang seorang diri.
Di ujung jalan itu ada seseorang yang menggunakan pakaian serba kulit dan topi pet yang sedang dikerumuni oleh banyak orang lainnya. Ia nampak serius mengatur sesuatu dan berkali-kali melihat buku catatannya. Beberapa orang juga memberikan sejumlah uang padanya.
Di tengah lintasan terlihat lima motor beserta pengendaranya yang sudah siap. Semua pengendara itu telah siap berpacu kecepatan di lintasan yang telah disiapkan. Di depan para pengendara itu nampak dua orang perempuan muda dengan busana seksi sedang membawa bendera. Laki-laki yang tadi tengah sibuk menacatat dan menghitung uang, maju ke arena balapan.
"Yo...Semuanya, inget peraturannya siapa yang lebih cepet balik ke garis finish dan bawa bendera dia yang bakal menang." Laki-laki itu mengambil ancang-ancang meniup peluit di tangannya.
Bersamaan dengan bunyi peluit dan lambaian bendera, raungan motor menderu memecah jalanan. Lima motor saling memacu kecepatan untuk menjadi yang terdepan. Setelah beberapa menit ada satu motor yang nampak berbalik arah. Pengendara motor Tiger itu mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi sambil membawa bendera di tangan. Di belakangnya, tidak terau jauh, ada motor lain yang mencoba menyusulnya. Suasana semakin memanas ketika motor-motor itu hampir mendekati finish. Tapi kemudian sorak sorai muncul di antara penonton. Pengendara motor Tiger berhasil mencapai garis akhir lebih dulu. Ia mengibar-kibarkan bendera yang dibawanya dan turun dari motor yang dikendarainya. Pengendara motor itu melepas helm yang sedari tadi menutupi kepalanya. Seorang...ah entahlah dia sangat cantik jika harus dikatakan sebagai laki-laki, tapi....
***
Taman di tengah gedung dan ruang-ruang perkuliahan itu nampak asri. Beragam tanaman bunga, rumput, dan pepohonan membuat taman itu teduh. Beberapa bangku dari semen beton tersebar di sekitar taman itu. Jika jeda antara waktu kuliah, biasanya kantin ini akan dipenuhi oleh mahasiswa, selain tentu saja kantin dan sekretariat ormawa (organisasi mahasiswa).
Seorang perempuan muda dengan t-shirt hitam dan celana jeans sedang duduk santai di taman itu sambil membaca buku. Kacamata berbingkai tipis menghiasi wajahnya. Tatanan rambut yang pendek ia nampak sedikit tomboi tapi tetap saja terlihat anggun.
"Samantha !" Seseorang laki-laki dengan tubuh tegap tinggi memanggil sebuah nama dari arah belakang perempuan muda itu. Seketika perempuan muda itu menoleh ke belakang.
"Hai Yud, ada apa?" tanya perempuan yang bernama Samantha itu.
"Ini buku yang aku janjikan." Kata Yudha sambil menyerahkan sebuah buku pada Samantha.
"Kapan nih aku kembalikan?" Tanya Samantha sambil menerima buku itu.
"Terserah kamu Sam. Kan buku ini kamu buat skripsi. Kalau aku sih nggak terlalu perlu." Kata Yudha sambil kemudian duduk di samping Samantha.
Samantha sedikit rikuh ketika Yudha duduk di sampingnya. "Oh, thanks ya... aku pinjam dulu kalo gitu. " Jawab Samantha dengan sedikit menggeser duduknya menjauh dari Yudha.
"Ehm...malam ini kamu sibuk nggak...?" Tanya Yudha sambil melihat ke arah Samantha.
"Malam ini ya, ehm... kayaknya aku nggak bisa deh Yud. Aku harus ngerjain skripsi. Mungkin lain kali, ya. Samantha berkata sambil menutup buku yang dibacanya dan mmperbaiki letak kacamatanya. Samantha kemudian berdiri yang disambut keterjutan Yudha melihat Samantha yang tiba-tiba berdiri. "Maaf ya Yud, aku ada kelas lagi. Terima kasih bukunya." Samantha meninggalkan Yudha yang belum habis rasa terkejutnya.
Samantha berjalan meninggalkan taman dan menuju kelas kuliahnya. Ia mendekap buku yang tadi dibacanya juga buku yang dipinjamkan Yudha padanya. Kemudian sepintas ia melihat sebuah kertas menyembul dari buku pinjaman Yudha. Samantha berhenti berjalan dan kemudian ia mengambil kertas yang tersembul itu. Ternyata sebuah amplop yang tertulis untuknya. Samantha nampak ragu untuk membuka amplop itu. Ia pun membuka amplop itu dan membaca isinya.
Samantha membaca surat itu dengan mengernyitkan keningnya. Samantha menggeleng-gelengkan kepala setelah membaca keseluruhan isi surat itu. "Yudha...Yudha...Kamu mengirimkan surat cinta pada orang yang salah." Samantha berkata sambil tersenyum. Ia meremas-remas surat itu dan membuangnya ke tong sampah . Samantha pun berlalu.
***
Aku larut dalam kekalutanku sekali lagi malam ini. Di tengah mandi cahaya terang aku meringkuk di pojok ruangan ini. Aku benci dengan bayangan dalam cermin itu. Aku benci dengan tubuh ini. Kubebat tubuh telanjangku dengan kain selimut putih yang kupunya. Tangisku pecah dalam ketakutan dan kebencian. Aku bangkit perlahan mendekati cermin itu. Bayangan itu.
"Kamu siapa?" Tanyaku.
Kemudian dia bilang "Aku adalah sejatimu perempuanku."
Mendengarnya sesuatu dalam diriku berontak dan akupun berteriak "Aku bukan kamu, makhluk yang lemah. Makhluk yang hanya bisa menangis. Makhluk yang hanya bisa bergantung dengan kekuatan lain di luar dirinya. Makhluk yang selalu tunduk dan patuh."
Bayangan dalam cermin itu kemudian tersenyum sinis. Tersenyum sinis padaku. "Lantas sekarang katakan padaku !! Kamu sendiri siapa, ha?? Seseorang yang mengingkari kediriannya dan kelaminnya." Katanya padaku.
"Aku...Aku tak pernah mengingkari apapun. Aku hanya terperangkap. Terperangkap di tempat yang salah." Kataku kemudian.
"Terperengkap?? Kamu tidak terperangkap cantik. Kamu cuma seorang pengecut. Kamu dengar kan, pengecut. Pengecut." Ia berkata padaku dan kemudian tertawa. Aku tak terima dengan apa yang dia katakan.
"Tidak, aku bukan pengecut. Bukan pengecut." Teriakku padanya. Aku beringsut pergi menjauh dari hadapan cermin itu. Kemudian, aku menyambar sebuah botol parfum dan berlari ke hadapan cermin itu kemudian melemparkannya. Cermin itu pecah berkeping-keping. Dan aku kemudian hanya dapat terduduk di lantai dan menangis.
Suara ketuk pintu kemudian terdengar bertalu-talu. "Non Samantha, non tidak apa-apa? Bibi' dengar suara kaca pecah." kata Bi' Nah dengan suara cemas.
Aku mengusap air mata dan menghentikan tangisku. "Nggak Bi', saya nggak apa-apa. Bi' Nah kembali saja." kataku kemudian. Aku berdiri dan menghapus sisa-sisa tangis dan ketakutan dari wajahku. Aku mengambil segulung kain dari dalam lemari dan membebatkannya pada dadaku. Aku mulai terbiasa dengan rasa sesak saat aku memakai bebatan kain itu. Dengan cepat, aku mengambil sebuah kaos hitam dan celana denim warna gelap yang kupunya. Aku memakainya dengan sigap karena aku tak memiliki banyak waktu lagi. Kuberikan gel pada rambutku dan menatanya seklimis mungkin. Aku memastikan sekali lagi tak ada raut sedih dan takut di wajahku. Setelah aku melihat semuanya telah siap, kuraih jaket kulit hitam yang kugantung di lemari itu dan mengenakannya.
Aku membuka pintu dan kutemui Bi' Nah sedang berdiri memandangku. "Non ndak apa-apa?" tanya Bi' Nah. Aku hanya tersenyum memandangnya. Kemudian aku berkata, "Bi' tolong buka garasi. Saya mau keluar." Bi' Nah kemudian beringsut pergi ke garasi.
Aku mengambil kunci di laci dan kemudian berjalan menuju garasi. Bi' Nah nampak membuka pintu garasi ketika aku sampai di sana. "Mbak mau balapan lagi? Pulang jam berapa?" tanya Bi' Nah.
"Bibi' nanti tidur saja, saya bawa kuci cadangan." Aku segera menaiki motor dan memecah keheningan malam dengan suara motorku.
***
Aku memacu kecepatan menuju jalanan kota yang masih saja menunjukkan geliat kehidupan meskipun matahari telah lama terlelap dalam peraduannya. Tetapi aku tidak mengarahkann motorku ke tempat balapan liar yang belakangan ini selalu aku datangi. Aku memacu kecepatan menuju sebuah club yang paling happening di kota.
Keriaan kehidupan malam ibu kota seakan tidak pernah tidur. Di waktu ketika hampir semua makhluk terlelap dalam keheningan, tempat-tempat seperti cafe, club, pub, atau lounge justru baru memulai langkah untuk memutar roda kegiatannya. Dan, sekarang aku berada di antara mereka. Berada di antara keriaan dunia malam. Hingar bingar musik yang di-mixing oleh DJ berdentam-dentam sepenjuru ruangan yang penuh sesak dengan manusia dan bau alkohol. Semua orang menikmati musik dengan menggoyangkan badan atau hanya sekedar duduk dan minum-minum.
Aku mengambil tempat di depan bartender. Ini kali pertama aku datang ke tempat ini. Jadi kupikir tempat yang paling "aman" untukku adalah di depan bar. Paling tidak aku bisa leluasa menjelajahi tempat ini melalui pandanganku. Aku memesan segelas wisky pada bartender di depanku. Tak lama kemudian, di depanku sudah ada segelas wisky. Aku hanya memandangnya sekilas tanpa menyentuhnya, kemudian kembali aku mengedarkan pandangan.
Seorang perempuan muda dengan baju sangat seksi, menurutku, nampak berjalan mendekat ke arahku. Ia duduk di kursi yang ada di sebelahku yang memang kosong. Ia memesan minuman pada bartender. "Kamu baru pertama kali ke sini?" Ia bertanya padaku.
"Ya, kok tahu?" tanyaku sambil menyalahkan rokok. Mendengar pertanyaanku ia hanya tersenyum.
"Nggak pernah aja ngelihat kamu di sini. Sendiri?" tanyanya lagi. Akupun menganggukan kepala.
Ia mengulurkan tangannya padaku. "Ve." Ia menyebutkan namanya.
Aku menyambut uluran tangannya. "Namaku Sam." kataku pendek.
Setelahnya kami terlibat dalam pembicaraan yang hangat. Entah mengapa percakapan di antara kami berdua dapat dengan mudah cair. Bersama Ve, aku dapat membicarakan segala hal. Aku kagum dengan kecantikannya dan kepintarannya. Tawanya yang renyah entah mengapa membuat hatiku tergetar. Matanya yang bulat pingpong seakan memiliki magnet yang membuatku betah berlama-lama memandangnya.
"Sam, kamu ada acara lain nggak setelah ini?" tanyanya kemudian.
"Nggak ada, emangnya kenapa?" jawabku.
"Sini deh ikut aku." Ia berkata demikian setelah menghabiskan minuman di gelasnya. Ve lantas menarik tanganku dan kemudian bangkit dari duduknya.
"Ke mana?" aku bertanya pada Ve. Tapi ia tak menjawabnya, aku menahan langkahnya sejenak. "Tunggu...tunggu." Aku berkata sambil mengeluarkan sejumlah uang dan meletakkanya di atas bar. Ve kembali menarik tanganku dan kami berdua pun pergi dari club ini. Meninggalkan riuhnya dentam musik di belakang kami.
Aku dan Ve berjalan ke arah tempat parkir. Ia mengajakku ke tempat mobilnya diparkir. Kami berdua masuk ke dalam mobil. Ve duduk di belakang kemudi. Setelah aku masuk dan menutup pintu, Ve kemudian memutar audio di dalam mobilnya. Tapi Ve tak menjalankan mobilnya.
Ve memandangku dengan mata bolanya yang indah. "Aku tahu kamu bukan laki-laki, kamu perempuan sepertiku, ya kan?" katanya ringan. Ia kemudian tersenyum padaku. Aku terkejut mendengar apa yang dikatakan Ve. Aku tidak menyangka Ve menyadari bahwa aku perempuan.
"Tapi...kamu, bagaimana...maksudku darimana kamu bisa berpikir hal semacam itu." kataku terbata-bata. Ve kemudian tertawa mendengar jawabanku.
"Sudahlah, Sam...atau siapapun namamu, aku tahu dengan pasti lekuk-lekuk tubuh laki-laki dan perempuan. Meskipun..." Ve menghentikan kata-katanya dan memandang ke arah dadaku dan iapun tersenyum.
Aku kemudian terdiam dan membuang pandanganku jauh ke dapan. Di atas sana arak awan mendung telah memudar dan sebuah bintang perlahan berpendar semakin terang. Aku menarik nafas dengan berat, mungkin ini adalah akhir dari pelarianku selama ini.
"Aku...aku..." kalimatku tertahan, aku tak menemukan kata-kata yang paling tepat untuk menjelaskan semua yang aku rasakan.
Ve meletakkan jari telunjuknya di atas bibirku. "Aku nggak butuh penjelasan apapun dari kamu." Aku terpana mendengar apa yang ia katakan. Kutatap matanya dalam-dalam, terdapat oase kejujuran dan ketulusan di dalamnya. Entah mengapa aku begitu damai ketika memandang wajahnya. Tiba-tiba ia merengkuh tubuhku dalam pelukannya. Tak satupun cara yang aku lakukan untuk menghela tangannya atau menarik tubuhku menjauh darinya. Ve membuatku nyaman dengan apa yang ia lakukan padaku. Aku hanya terdiam dan bersandar dalam pelukannya.
***
Sebuah motor dengan raungan dan kecepatan yang tinggi memecah gelapnya malam. Pengendara motor itu nampak tidak menghiraukan orang-orang dan jalanan yang telah terlewat darinya. Kepala dan pandangannya hanya terpusat pada apa yang ada di hadapannya. Ia menyasar gelap malam dan menembus pekat dan dinginnya angin malam.
Batas kota ia lewati, tak satupun ada yang tahu tepatnya ke mana tujuan dan kapan motor itu akan berhenti. Jalanan masih saja sepi, meskipun masih ada satu atau dua orang yang masih saja sibuk dengan aktifitasnya. Kota yang masih padat dengan perumahan dan pertokoan telah ia lewati hingga pelosok yang disekelilingnya hanya ada hamparan sawah dan hutan-hutan pohon pinus. Pohon-pohon yang jika malam seperti ini nampak seperti prajurit yang siap menyerang kita setiap saat.
Motor itu menyusuri jalanan pegunungan yang berkelok-kelok. Tiba-tiba pengendara motor itu berhenti. Berhenti pada sebuah pinggiran tebing, ia memakirkan motornya begitu saja. Di pinggir tebing itu, ia hanya berdiri mematung tanpa berkata apapun. Kemudian ia melepaskan helmnya dengan cepat dan melemparnya ke jurang yang gelap di hadapannya.
"Aaaaa....Apa maksud ini semua Tuhan!" Perempuan itu berteriak dan menengadah ke langit yang telah kelam.
"Apa salahku hingga Kamu ciptakan aku dengan jiwa dan ragu yang tak padu. Jiwaku hampa dalam tubuh ini Tuhan, menjalani ini semua, sangat menyiksaku." teriak perempuan itu lagi. Ia jatuh terduduk dengan derai air mata di pipinya. Tangisnya seketika pecah. Dalam keheningan malam tangis itu begitu menyayat jiwa siapapun yang mendengarnya.
Perlahan tangis itu mereda, hanya ada suara binatang malam yang terdengar. Hening sejenak. Keheningan yang begitu mengerikan. Gerisik dedaunan yang dimainkan oleh angin malam itu semakin menghiasi keheningan malam itu. Tak ada lagi suara tangis dan ratap perempuan.
***
Dari kejauhan, jalan perbukitan itu nampak lengang. Sebuah siluet tubuh di ujung tebing itu nampak seperti hanya sebuah noktah kecil. Namun siluet itu tiba-tiba menghilang. Kemudian jauh di bawah tebing itu nampak sebuah noktah hitam meluncur ke jurang.
**Selesai**
Suara ketuk pintu kemudian terdengar bertalu-talu. "Non Samantha, non tidak apa-apa? Bibi' dengar suara kaca pecah." kata Bi' Nah dengan suara cemas.
Aku mengusap air mata dan menghentikan tangisku. "Nggak Bi', saya nggak apa-apa. Bi' Nah kembali saja." kataku kemudian. Aku berdiri dan menghapus sisa-sisa tangis dan ketakutan dari wajahku. Aku mengambil segulung kain dari dalam lemari dan membebatkannya pada dadaku. Aku mulai terbiasa dengan rasa sesak saat aku memakai bebatan kain itu. Dengan cepat, aku mengambil sebuah kaos hitam dan celana denim warna gelap yang kupunya. Aku memakainya dengan sigap karena aku tak memiliki banyak waktu lagi. Kuberikan gel pada rambutku dan menatanya seklimis mungkin. Aku memastikan sekali lagi tak ada raut sedih dan takut di wajahku. Setelah aku melihat semuanya telah siap, kuraih jaket kulit hitam yang kugantung di lemari itu dan mengenakannya.
Aku membuka pintu dan kutemui Bi' Nah sedang berdiri memandangku. "Non ndak apa-apa?" tanya Bi' Nah. Aku hanya tersenyum memandangnya. Kemudian aku berkata, "Bi' tolong buka garasi. Saya mau keluar." Bi' Nah kemudian beringsut pergi ke garasi.
Aku mengambil kunci di laci dan kemudian berjalan menuju garasi. Bi' Nah nampak membuka pintu garasi ketika aku sampai di sana. "Mbak mau balapan lagi? Pulang jam berapa?" tanya Bi' Nah.
"Bibi' nanti tidur saja, saya bawa kuci cadangan." Aku segera menaiki motor dan memecah keheningan malam dengan suara motorku.
***
Aku memacu kecepatan menuju jalanan kota yang masih saja menunjukkan geliat kehidupan meskipun matahari telah lama terlelap dalam peraduannya. Tetapi aku tidak mengarahkann motorku ke tempat balapan liar yang belakangan ini selalu aku datangi. Aku memacu kecepatan menuju sebuah club yang paling happening di kota.
Keriaan kehidupan malam ibu kota seakan tidak pernah tidur. Di waktu ketika hampir semua makhluk terlelap dalam keheningan, tempat-tempat seperti cafe, club, pub, atau lounge justru baru memulai langkah untuk memutar roda kegiatannya. Dan, sekarang aku berada di antara mereka. Berada di antara keriaan dunia malam. Hingar bingar musik yang di-mixing oleh DJ berdentam-dentam sepenjuru ruangan yang penuh sesak dengan manusia dan bau alkohol. Semua orang menikmati musik dengan menggoyangkan badan atau hanya sekedar duduk dan minum-minum.
Aku mengambil tempat di depan bartender. Ini kali pertama aku datang ke tempat ini. Jadi kupikir tempat yang paling "aman" untukku adalah di depan bar. Paling tidak aku bisa leluasa menjelajahi tempat ini melalui pandanganku. Aku memesan segelas wisky pada bartender di depanku. Tak lama kemudian, di depanku sudah ada segelas wisky. Aku hanya memandangnya sekilas tanpa menyentuhnya, kemudian kembali aku mengedarkan pandangan.
Seorang perempuan muda dengan baju sangat seksi, menurutku, nampak berjalan mendekat ke arahku. Ia duduk di kursi yang ada di sebelahku yang memang kosong. Ia memesan minuman pada bartender. "Kamu baru pertama kali ke sini?" Ia bertanya padaku.
"Ya, kok tahu?" tanyaku sambil menyalahkan rokok. Mendengar pertanyaanku ia hanya tersenyum.
"Nggak pernah aja ngelihat kamu di sini. Sendiri?" tanyanya lagi. Akupun menganggukan kepala.
Ia mengulurkan tangannya padaku. "Ve." Ia menyebutkan namanya.
Aku menyambut uluran tangannya. "Namaku Sam." kataku pendek.
Setelahnya kami terlibat dalam pembicaraan yang hangat. Entah mengapa percakapan di antara kami berdua dapat dengan mudah cair. Bersama Ve, aku dapat membicarakan segala hal. Aku kagum dengan kecantikannya dan kepintarannya. Tawanya yang renyah entah mengapa membuat hatiku tergetar. Matanya yang bulat pingpong seakan memiliki magnet yang membuatku betah berlama-lama memandangnya.
"Sam, kamu ada acara lain nggak setelah ini?" tanyanya kemudian.
"Nggak ada, emangnya kenapa?" jawabku.
"Sini deh ikut aku." Ia berkata demikian setelah menghabiskan minuman di gelasnya. Ve lantas menarik tanganku dan kemudian bangkit dari duduknya.
"Ke mana?" aku bertanya pada Ve. Tapi ia tak menjawabnya, aku menahan langkahnya sejenak. "Tunggu...tunggu." Aku berkata sambil mengeluarkan sejumlah uang dan meletakkanya di atas bar. Ve kembali menarik tanganku dan kami berdua pun pergi dari club ini. Meninggalkan riuhnya dentam musik di belakang kami.
Aku dan Ve berjalan ke arah tempat parkir. Ia mengajakku ke tempat mobilnya diparkir. Kami berdua masuk ke dalam mobil. Ve duduk di belakang kemudi. Setelah aku masuk dan menutup pintu, Ve kemudian memutar audio di dalam mobilnya. Tapi Ve tak menjalankan mobilnya.
Ve memandangku dengan mata bolanya yang indah. "Aku tahu kamu bukan laki-laki, kamu perempuan sepertiku, ya kan?" katanya ringan. Ia kemudian tersenyum padaku. Aku terkejut mendengar apa yang dikatakan Ve. Aku tidak menyangka Ve menyadari bahwa aku perempuan.
"Tapi...kamu, bagaimana...maksudku darimana kamu bisa berpikir hal semacam itu." kataku terbata-bata. Ve kemudian tertawa mendengar jawabanku.
"Sudahlah, Sam...atau siapapun namamu, aku tahu dengan pasti lekuk-lekuk tubuh laki-laki dan perempuan. Meskipun..." Ve menghentikan kata-katanya dan memandang ke arah dadaku dan iapun tersenyum.
Aku kemudian terdiam dan membuang pandanganku jauh ke dapan. Di atas sana arak awan mendung telah memudar dan sebuah bintang perlahan berpendar semakin terang. Aku menarik nafas dengan berat, mungkin ini adalah akhir dari pelarianku selama ini.
"Aku...aku..." kalimatku tertahan, aku tak menemukan kata-kata yang paling tepat untuk menjelaskan semua yang aku rasakan.
Ve meletakkan jari telunjuknya di atas bibirku. "Aku nggak butuh penjelasan apapun dari kamu." Aku terpana mendengar apa yang ia katakan. Kutatap matanya dalam-dalam, terdapat oase kejujuran dan ketulusan di dalamnya. Entah mengapa aku begitu damai ketika memandang wajahnya. Tiba-tiba ia merengkuh tubuhku dalam pelukannya. Tak satupun cara yang aku lakukan untuk menghela tangannya atau menarik tubuhku menjauh darinya. Ve membuatku nyaman dengan apa yang ia lakukan padaku. Aku hanya terdiam dan bersandar dalam pelukannya.
***
Sebuah motor dengan raungan dan kecepatan yang tinggi memecah gelapnya malam. Pengendara motor itu nampak tidak menghiraukan orang-orang dan jalanan yang telah terlewat darinya. Kepala dan pandangannya hanya terpusat pada apa yang ada di hadapannya. Ia menyasar gelap malam dan menembus pekat dan dinginnya angin malam.
Batas kota ia lewati, tak satupun ada yang tahu tepatnya ke mana tujuan dan kapan motor itu akan berhenti. Jalanan masih saja sepi, meskipun masih ada satu atau dua orang yang masih saja sibuk dengan aktifitasnya. Kota yang masih padat dengan perumahan dan pertokoan telah ia lewati hingga pelosok yang disekelilingnya hanya ada hamparan sawah dan hutan-hutan pohon pinus. Pohon-pohon yang jika malam seperti ini nampak seperti prajurit yang siap menyerang kita setiap saat.
Motor itu menyusuri jalanan pegunungan yang berkelok-kelok. Tiba-tiba pengendara motor itu berhenti. Berhenti pada sebuah pinggiran tebing, ia memakirkan motornya begitu saja. Di pinggir tebing itu, ia hanya berdiri mematung tanpa berkata apapun. Kemudian ia melepaskan helmnya dengan cepat dan melemparnya ke jurang yang gelap di hadapannya.
"Aaaaa....Apa maksud ini semua Tuhan!" Perempuan itu berteriak dan menengadah ke langit yang telah kelam.
"Apa salahku hingga Kamu ciptakan aku dengan jiwa dan ragu yang tak padu. Jiwaku hampa dalam tubuh ini Tuhan, menjalani ini semua, sangat menyiksaku." teriak perempuan itu lagi. Ia jatuh terduduk dengan derai air mata di pipinya. Tangisnya seketika pecah. Dalam keheningan malam tangis itu begitu menyayat jiwa siapapun yang mendengarnya.
Perlahan tangis itu mereda, hanya ada suara binatang malam yang terdengar. Hening sejenak. Keheningan yang begitu mengerikan. Gerisik dedaunan yang dimainkan oleh angin malam itu semakin menghiasi keheningan malam itu. Tak ada lagi suara tangis dan ratap perempuan.
***
Dari kejauhan, jalan perbukitan itu nampak lengang. Sebuah siluet tubuh di ujung tebing itu nampak seperti hanya sebuah noktah kecil. Namun siluet itu tiba-tiba menghilang. Kemudian jauh di bawah tebing itu nampak sebuah noktah hitam meluncur ke jurang.
**Selesai**
Comments