Tersenyumlah Bidadariku
Gadis itu tengah duduk dan membaca secarik kertas dalam kamarnya yang sedikit temaram. Sebuah undangan untuk orangtua mahasiswa yang akan diwisuda. Gadis itu Lina. Lima hari lagi ia akan meraih gelar Sarjana Komunikasi.
"Apa aku harus kembali ke rumah itu ya, sudah hampir empat tahun aku tak pernah lagi menginjakkan kakiku di sana." Lina bergumam
Memang
telah empat tahun ia tak pernah lagi mengunjungi tempat ia dahulu
merenda masa kanak-kanak dan remajanya. Sejak ia terlibat perang mulut
dengan papanya. Masalah yang harusnya bisa diselesaikan dengan kepala
dingin. Hanya karena papa Lina menginginkan anaknya untuk kuliah di
Kedokteran sementara Lina lebih memilih Ilmu Komunikasi sebagai jalur
pendidikannya. Secuil masalah yang mengakibatkan perang argumen panjang
yang tak berkesudahan. Dalam keadaan emosi, Lina memutuskan untuk
meninggalkan rumah. Walau memang dengan berat hati, ia harus
meninggalkan adiknya Rani yang saat itu masih kelas 2 SMP. Lina
meninggalkan rumah tanpa menengok lagi. Sesekali ia bertemu dengan
adiknya di luar rumah namun pertemuan itu seperti pertemuan dua makhluk
asing yang tak saling mengenal. Lina menyesali semuanya, andai saja
Mamanya tidak terlalu cepat meninggalkann mereka pasti pertengkaran itu
akan sedikit terhindari dan ia tak harus meninggalkan rumah.
Lina bangkit dari kursi dan meraih HPnya yang sudah cukup lama berdering. "Hai Bram, ada apa?" Tanya Lina.
"Lin, inget ya besok ada meeting, datang lebih pagi ya!" Sahut Bram. "Pasti." Jawab Lina singkat.
"Ya, kalau begitu 'met bobo ya sayang." Bram mengakhiri pembicaraan.
Bram adalah orang terdekat Lina saat ini. Dia yang sering memberikan semangat pada Lina untuk menjalani hari-harinya. Bram juga yang meberikan Lina kesempatan untuk bekerja di radionya sebagai Public Relation.
***
Pagi itu Lina berangkat ke kantor dengan banyak hal yang berkecamuk di kepalanya. Ia menjadi sulit berkosentrasi dalam pekerjaannya. Bram melihat perubahan dalam sikap Lina yang cenderung lebih pendiam dan murung.
Bram menghampiri Lina, "Ada apa sih ? Seharian ini kamu kusut banget." Tanya Bram.
Lina menyerahkan surat undangan wisuda itu pada Bram. Bram membacanya, kemudian berkata "So, what's wrong?"
"Kamu sendiri kan tahu, aku sudah lama tidak berhubungan lagi dengan Papa. Sekarang tiba-tiba aku harus bertemu lagi dengannya. Aku bingung, lebih tepatnya canggung dan gugup." Kata Lina.
"Kenapa kamu harus bingung, justru sekarang waktunya kamu menunjukkan pada Papamu, kalau kamu bisa berhasil walau tanpa bantuannya." Jawab Bram.
"Tapi..." Lina masih bimbang.
"Sudahlah, nanti sepulang kerja aku antar kamu ke rumah. Okey...." Kata-kata Bram disambut anggukan Lina.
***
Rumah itu tetap tidak berubah. Masih bercat putih, sama seperti saat Lina terakhir mengunjunginya. Dan masih terlihat angkuh. Sejenak Lina ragu untuk melangkah masuk, namun Bram meraih tangannya dan membimbingnya ke dalam.
Pintu terbuka dan nampak Bik Minah. "Non..." Perempuan tua itu terkejut. "Ada Papa Bi' ?" Tanya Lina. Bik Minah nampak gugup. Lina berjalan masuk dan melihat sekeliling, 'memang tidak ada yang berubah' pikir Lina.
"Bapak sudah 2 minggu tidak pulang, Non. Ehm...semenjak Non pergi dari rumah, banyak yang telah berubah Non. Bapak jadi jarang pulang, katanya urusan bisnis. Sedangkan mbak Rani sering pulang malam bahkan juga tidak pulang." Jelas Bik Minah panjang lebar. Lina tersentak kaget mendengar penjelasan Bik Minah.
"Sekarang Rani ada di kamar ?" tanyanya kemudian.
"Ada Non di kamar, sudah dua hari ini Mbak Rani tidak keluar kamar. Mbak Rani juga tidak memperbolehkan saya masuk ke kamarnya. Oh ya non, minum apa ?" Tanya Bik Minah.
"Buatkan untuk Bram saja, saya tidak usah." Kata Lina. Lina kemudian memandang Bram, "Bram aku naik dulu ya, perasaanku nggak enak." Kata Lina sambil menaiki tangga.
Lina sudah berada di depan kamar adik semata wayangnya. Ia membuka pintu itu perlahan. Ternyata...pemandangan di hadapannya membuat Lina benar-benar syok. Rani sedang menyuntikkan jarum ke tangannya.
"Rani !!!"Lina berteriak dan berlari ke arah Rina. Ia segera merampas alat suntik dari tangan Rina.
"Apa-apaan kamu !! Kamu make ?" Teriak Lina pada adiknya.
"Bukan urusan kamu ! Ngapain kamu ke sini ? Urus aja diri kamu sendiri." Teriak Rani. Ia nampak kesakitan.
"Ran, ini aku Lina, kakakmu." Kata Lina sembari mendekati Rani. Rani menghindar dan berlari ke pojok ruangan. "Aku nggak punya siapa-siapa. Aku sendirian. Kamu tahu itu, aku sendirian." Rani berteriak , kemudian ia tertawa nyaring. Namun tawa itu getir. Dan berubah menjadi tangis yang menyayat. Lina berlari ke arah Rani dan mencoba meraih tubuhnya. Namun adiknya itu meronta. "Pergi kamu !! Di mana kamu saat aku kesepian, saat aku ada masalah. Aku sendirian di sini." Rani berkata dengan semakin terisak.
"Maafin aku ya, Ran. Aku sayang sama kamu. Aku janji nggak bakalan ninggalin kamu lagi." Jawab Lina. Lina perlahan-lahan mendekati adiknya dan mendekapnya. Rani semakin meronta namun dekapan Lina tak melemah.
"Tenang ya, Ran. Mulai saat ini aku akan terus di samping kamu. Kamu bisa andalkan aku. Maafkan mbak Ran, karena keegoisan mbak kamu jadi menderita seperti ini. Mbak akan bantu kamu lepas dari semua ini." Kata Lina sambil membelai rambut adiknya. Rina semakin tenang kemudian ia membimbingnya untuk berbaring di tempat tidur.
"Bik...." Lina berteriak. Bik Minah tak datang sendiri, ia bersama Bram. "Bik Tolong telepon dokter." Kata Lina. Bik Minah segera keluar. "Bram, tolong geledah kamar ini, mungkin masih ada yang tersiksa." Kata Lina sambil menyerahkan jarum suntik itu pada Bram. Rupanya Bram telah mengerti maksud Lina.
***
Keadaan di rumah sudah mulai terkendali. Rani sudah tenang. Dr. Soemitro menyarankan untuk membawa Rani ke rehabilitiasi. Namun Lina menolak. Ia ingin Rani disembuhkan di rumah. Lina juga telah menelepon papanya dan memintanya segera pulang. Ia juga meminta cuti pada Bram.
Saat Papa Lina datang, mereka berbicara di ruang kerja. Lina telah menceritakan semua yang tadi terjadi termasuk maksud kedatangannya hari ini. Diserahkannya undangan wisuda itu pada sosok lelaki di hadapannya. Papa Lina menerima dan membacanya.
"Jadi..." Papa Lina menggantungkan kata-katanya.
"Saya harap Papa bisa hadir di wisuda saya." Jawab Lina.
Papa Lina berjalan ke arah jendela. Lalu ia berkata, "Mengapa saya harus datang ?" Pertanyaan itu sedikit menyulut emosi Lina, namun ia teringat Rani. "Karena bagaimanapun Papa adalah orang tua Lina. Lina ingin membuat Papa bahagia dan bangga pada Lina." Lina mencoba menahan emosinya. Papa Lina berbalik merentangkan tangannya. Lina nampak terkejut, namun segera ia menghampiri dan memeluk Papanya.
"Pasti Papa akan datang. Papa bangga sekali kamu telah berhasil walaupun tanpa biaya dari Papa. Papa bangga nak." Kata-kata itu meluncur dan menyirami hati Lina yang selama ini kering. Ia menangis terharu. "Kak...." Rani nampak membuka pintu.
"Rani...sini sayang." Kata Papa. Rani mendekat dan merekapun berpelukan. "Maafkan Papa ya, Papa janji akan selalu bersama dengan kalian." Janji Papa.
Senyum di bibir Rani mengembang. Senyum itu membuat Lina lega. Ia berjanji akan selalu menjaga senyum itu agar terus merekah. Semoga kini hanya ada kebahagiaan di hidup mereka.
Lina bangkit dari kursi dan meraih HPnya yang sudah cukup lama berdering. "Hai Bram, ada apa?" Tanya Lina.
"Lin, inget ya besok ada meeting, datang lebih pagi ya!" Sahut Bram. "Pasti." Jawab Lina singkat.
"Ya, kalau begitu 'met bobo ya sayang." Bram mengakhiri pembicaraan.
Bram adalah orang terdekat Lina saat ini. Dia yang sering memberikan semangat pada Lina untuk menjalani hari-harinya. Bram juga yang meberikan Lina kesempatan untuk bekerja di radionya sebagai Public Relation.
***
Pagi itu Lina berangkat ke kantor dengan banyak hal yang berkecamuk di kepalanya. Ia menjadi sulit berkosentrasi dalam pekerjaannya. Bram melihat perubahan dalam sikap Lina yang cenderung lebih pendiam dan murung.
Bram menghampiri Lina, "Ada apa sih ? Seharian ini kamu kusut banget." Tanya Bram.
Lina menyerahkan surat undangan wisuda itu pada Bram. Bram membacanya, kemudian berkata "So, what's wrong?"
"Kamu sendiri kan tahu, aku sudah lama tidak berhubungan lagi dengan Papa. Sekarang tiba-tiba aku harus bertemu lagi dengannya. Aku bingung, lebih tepatnya canggung dan gugup." Kata Lina.
"Kenapa kamu harus bingung, justru sekarang waktunya kamu menunjukkan pada Papamu, kalau kamu bisa berhasil walau tanpa bantuannya." Jawab Bram.
"Tapi..." Lina masih bimbang.
"Sudahlah, nanti sepulang kerja aku antar kamu ke rumah. Okey...." Kata-kata Bram disambut anggukan Lina.
***
Rumah itu tetap tidak berubah. Masih bercat putih, sama seperti saat Lina terakhir mengunjunginya. Dan masih terlihat angkuh. Sejenak Lina ragu untuk melangkah masuk, namun Bram meraih tangannya dan membimbingnya ke dalam.
Pintu terbuka dan nampak Bik Minah. "Non..." Perempuan tua itu terkejut. "Ada Papa Bi' ?" Tanya Lina. Bik Minah nampak gugup. Lina berjalan masuk dan melihat sekeliling, 'memang tidak ada yang berubah' pikir Lina.
"Bapak sudah 2 minggu tidak pulang, Non. Ehm...semenjak Non pergi dari rumah, banyak yang telah berubah Non. Bapak jadi jarang pulang, katanya urusan bisnis. Sedangkan mbak Rani sering pulang malam bahkan juga tidak pulang." Jelas Bik Minah panjang lebar. Lina tersentak kaget mendengar penjelasan Bik Minah.
"Sekarang Rani ada di kamar ?" tanyanya kemudian.
"Ada Non di kamar, sudah dua hari ini Mbak Rani tidak keluar kamar. Mbak Rani juga tidak memperbolehkan saya masuk ke kamarnya. Oh ya non, minum apa ?" Tanya Bik Minah.
"Buatkan untuk Bram saja, saya tidak usah." Kata Lina. Lina kemudian memandang Bram, "Bram aku naik dulu ya, perasaanku nggak enak." Kata Lina sambil menaiki tangga.
Lina sudah berada di depan kamar adik semata wayangnya. Ia membuka pintu itu perlahan. Ternyata...pemandangan di hadapannya membuat Lina benar-benar syok. Rani sedang menyuntikkan jarum ke tangannya.
"Rani !!!"Lina berteriak dan berlari ke arah Rina. Ia segera merampas alat suntik dari tangan Rina.
"Apa-apaan kamu !! Kamu make ?" Teriak Lina pada adiknya.
"Bukan urusan kamu ! Ngapain kamu ke sini ? Urus aja diri kamu sendiri." Teriak Rani. Ia nampak kesakitan.
"Ran, ini aku Lina, kakakmu." Kata Lina sembari mendekati Rani. Rani menghindar dan berlari ke pojok ruangan. "Aku nggak punya siapa-siapa. Aku sendirian. Kamu tahu itu, aku sendirian." Rani berteriak , kemudian ia tertawa nyaring. Namun tawa itu getir. Dan berubah menjadi tangis yang menyayat. Lina berlari ke arah Rani dan mencoba meraih tubuhnya. Namun adiknya itu meronta. "Pergi kamu !! Di mana kamu saat aku kesepian, saat aku ada masalah. Aku sendirian di sini." Rani berkata dengan semakin terisak.
"Maafin aku ya, Ran. Aku sayang sama kamu. Aku janji nggak bakalan ninggalin kamu lagi." Jawab Lina. Lina perlahan-lahan mendekati adiknya dan mendekapnya. Rani semakin meronta namun dekapan Lina tak melemah.
"Tenang ya, Ran. Mulai saat ini aku akan terus di samping kamu. Kamu bisa andalkan aku. Maafkan mbak Ran, karena keegoisan mbak kamu jadi menderita seperti ini. Mbak akan bantu kamu lepas dari semua ini." Kata Lina sambil membelai rambut adiknya. Rina semakin tenang kemudian ia membimbingnya untuk berbaring di tempat tidur.
"Bik...." Lina berteriak. Bik Minah tak datang sendiri, ia bersama Bram. "Bik Tolong telepon dokter." Kata Lina. Bik Minah segera keluar. "Bram, tolong geledah kamar ini, mungkin masih ada yang tersiksa." Kata Lina sambil menyerahkan jarum suntik itu pada Bram. Rupanya Bram telah mengerti maksud Lina.
***
Keadaan di rumah sudah mulai terkendali. Rani sudah tenang. Dr. Soemitro menyarankan untuk membawa Rani ke rehabilitiasi. Namun Lina menolak. Ia ingin Rani disembuhkan di rumah. Lina juga telah menelepon papanya dan memintanya segera pulang. Ia juga meminta cuti pada Bram.
Saat Papa Lina datang, mereka berbicara di ruang kerja. Lina telah menceritakan semua yang tadi terjadi termasuk maksud kedatangannya hari ini. Diserahkannya undangan wisuda itu pada sosok lelaki di hadapannya. Papa Lina menerima dan membacanya.
"Jadi..." Papa Lina menggantungkan kata-katanya.
"Saya harap Papa bisa hadir di wisuda saya." Jawab Lina.
Papa Lina berjalan ke arah jendela. Lalu ia berkata, "Mengapa saya harus datang ?" Pertanyaan itu sedikit menyulut emosi Lina, namun ia teringat Rani. "Karena bagaimanapun Papa adalah orang tua Lina. Lina ingin membuat Papa bahagia dan bangga pada Lina." Lina mencoba menahan emosinya. Papa Lina berbalik merentangkan tangannya. Lina nampak terkejut, namun segera ia menghampiri dan memeluk Papanya.
"Pasti Papa akan datang. Papa bangga sekali kamu telah berhasil walaupun tanpa biaya dari Papa. Papa bangga nak." Kata-kata itu meluncur dan menyirami hati Lina yang selama ini kering. Ia menangis terharu. "Kak...." Rani nampak membuka pintu.
"Rani...sini sayang." Kata Papa. Rani mendekat dan merekapun berpelukan. "Maafkan Papa ya, Papa janji akan selalu bersama dengan kalian." Janji Papa.
Senyum di bibir Rani mengembang. Senyum itu membuat Lina lega. Ia berjanji akan selalu menjaga senyum itu agar terus merekah. Semoga kini hanya ada kebahagiaan di hidup mereka.
Selesai
Comments