Padang Bintang
Dunia dan kehidupan terus bergerak
menuntut manusia-manusia turut bergerak seiringnya. Terkadang mereka,
manusia-manusia yang menganggap dirinya penting bagi kehidupan ini,
terjebak pada rutinitas kehidupan yang semu. Bahkan jika mereka mau
sedikit lebih jujur, mereka pun tak tahu untuk apa dan mengapa mereka
berkejaran dengan waktu dan kesibukan.
Dan aku telah penat dengan rutinitas konyol itu. Aku muak dengan orang-orang yang meneriakkan kekurangan waktu dalam satu hari untuk menjalankan semua aktivitasnya. Ha, taik kucing itu semua. Apakah mereka yakin tidak akan berbuat yang sama jika satu hari tak lagi 24 jam, 36 jam atau 72 jam misalnya. Toh nanti jika Tuhan mengubah putaran waktu sesuai kehendak mereka, aku yakin mereka juga akan berkoar-koar, ”Aku tak punya cukup waktu untuk melakukan ini, melakukan itu.” Bah, apa mereka pikir waktu itu dibuat hanya untuk memuaskan kepentingan mereka.
Aku begitu penat melihat roda kehidupan yang bergerak begitu cepat. Langkahku tak dapat mengimbangi langkah dunia ini. Sel-sel dalam tubuhku tak berkehendak menyatu dengan keriuhan dunia. Sehingga hari-hari yang biasa ku lalui adalah hari-hari yang kubuat sebiasa mungkin untuk tak biasa.
Jalan-jalan ini kulalui seperti biasa. Hanya ada aku, jalan ini, dan angan. Lebih baik begini, satu persatu mengambil langkah dan memaknainya dengan sebenar-benarnya memaknai. Ku nikmati setiap hela nafas yang kuhembus dan kuhirup. Kurasakan setiap getaran dan gesekan saat aku melangkah dari aspal satu ke aspal lain. Dan kumaknai setiap jengkal waktu ini dengan diam. Dan hanya diam yang membuatku benar-benar merasakan setiap apa yang kulakukan. Tidak dalam hingar bingar.
Dan tuk kesekian kalinya jalan ini kulewati dalam diam. Teriknya mentari atau dinginnya terpaan hujan tak lagi menyurutkan inginku untuk tetap berjalan. Jika memang nanti aku lelah dan berhenti, maka itu memang kehendakku sendiri. Pun ketika aku berhenti siang ini di depan sebuah rumah yang cukup asri oleh rimbun pepohonan. Bukan karena apa atau siapa. Karena tiba-tiba aku ingin berlama-lama menatap rumah itu seakan ada sesuatu yang membuat mata dan pikiranku enggan beranjak dari sana.
***
Jiwaku serasa melayang-layang entah dibawa kemana oleh pusaran angin. Begitu gelap di sekitarku. Perlahan aku melihat gemerlap. Banyak sekali. Ya, aku tahu ini, di hadapanku terbentang langit dengan berjuta bintang. Dan, PLUK !!! aku terjatuh di sebuah padang rumput yang cukup luas.
’Dimana gerangan ini ?’ pikirku. Tempat ini begitu asing. Sebuah padang rumput dan padang bintang saling memeluk dalam gelapnya malam. Berkali-kali terlihat hujan bintang. Aku berpikir akan ada berapa ribu impian yang akan terwujud kalau mereka memohon di tempat ini. Tak kuhiraukan lagi di mana aku sekarang. Aku mulai menikmati keheningan ini. Di sini hanya ada aku, tak ada yang lain. Aku merebahkan tubuhku di atas hamparan rumput. Ketika melihat langit di atasku, kurasakan begitu dekatnya aku dengan bintang-bintang itu hingga dapat kuraih.
***
Aku benci rumah ini. Aku benci semua yang ada di sini. Mereka tak pernah mengiraukanku. Berkali-kali sudah kubilang aku tidak ingin dikurung dalam ruang pengap ini. Aku ingin berlarian di luar sana. Aku mau jalan-jalan. Aku mau bebas. Tak sedetik pun mereka mau membukakan pintu itu untukku. Aku hanya bisa melihat dunia luar dari jendela itu. Aku mulai bersahabat dengan jendela. Setiap waktuku habis di balik jendela itu. Setiap waktuku habis dengan diam.
Diam adalah satu-satunya cara untukku agar mereka yang ada di luar kamar ini tidak marah-marah padaku dan mulai membentak-bentak. Ada saja alasan mereka ketika aku mulai sedikit ”bersuara”. Katanya berisik lah, malu di dengar tetangga, atau ”suaraku itu” menganggu akktivitas mereka. Jadi, lebih baik aku diam. Diam dan memandang dunia luar lewat jendela.
***
Di teriknya siang dua anak manusia dari dua tempat yang berbeda saling memandang dalam diam. Keduanya hanya menatap satu sama lain tanpa reaksi lainnya. Mereka berdua tenggelam dalam kedalaman lautan misteri di mata mereka. Tak ada yang tahu mengapa keduanya sama-sama terpaku seperti patung. Hanya memandang dan diam. Orang-orang yang berlalu-lalang di jalan itu ataupun orang-orang di rumah itu pun tak tahu. Atau mereka tidak mau tahu.
***
Aku kembali berjalan di jalan ini seperti kemarin atau kemarinnya lagi. Kembali aku berjalan dalam diam. Aku ingin kembali ke tempat kemarin aku berhenti dan memandang sebuah rumah. Hingga ketemukan sebuah mata dan tatapan yang begitu menyayat. Mata yang begitu kesepian. Mata yang begitu terluka seakan telah mengalami semua penderitaan di dunia ini. Mata yang membuatku terpaku dan menatapnya sepanjang hari. Aku ingin kembali manatap mata itu.
***
Aku sekarang tak lagi ingin bersuara-suara. Aku telah menemukan kesenangan baru. Kemarin, saat aku seperti biasanya memandang dunia luar lewat jendela, aku menemukan mata yang begitu berbinar. Mata yang begitu bersemangat sekaligus menunjukkan sinar kelelahan. Mata yang sepertinya mencari sesuatu yang tak kutahu apa. Tapi mata itu ada di luar sana. Terpaku dan terus menatap ke arah ku.
***
Kedua orang itu kembali saling menatap dalam diam. Pikiran keduanya sama-sama mengembara.
”Siapa gerangan kamu ?” tanya orang yang di luar.
”Aku ingin pergi dari sini dan bebas sepertimu.” kata orang di balik jendela.
”Apakah kamu menderita di dalam sana ?” Orang di luar bertanya lagi.
”Sangat ! Aku ingin setiap detik dapat mewujudkan setiap inginku.” Kata orang di balik jendela.
”Keluarlah, aku akan menunjukkanmu suatu tempat yang mungkin kamu suka.” Orang di luar berkata lagi.
”Aku tidak bisa.” jawab orang di balik jendela.
Kata-kata terus mengalir melalui mata dan dalam diam. Dan tak ada seorang pun yang tahu apa yang tengah mereka bicarakan. Tak ada seorang pun yang tahu karena hanya ada dua sosok yang diam terpaku tak ada suara. Tak ada seorang pun yang tahu, mereka yang tengah ada di jalanan atau mereka yang ada di dalam rumah. Atau mereka tidak mau tahu.
***
Jiwaku kembali melayang-layang dan kali ini aku berharap semoga pusaran angin kan membawaku kepada padang bintangku kemarin. Aku tak mau dibawa ke tempat lain. Hanya pada padang bintanglah aku mau pengembaraan jiwaku terhenti. PLUK ! Sekali lagi aku terhempas pada padang rumput yang sangat ku kenal. Langit masih memeluk bumi di padang bintang ini. Kesunyian masih ada di sini.
Tak lama, semburat jiwa lain juga terhempas pada padang rumput ini tak jauh dari tempatku berada. Aku tersenyum menyambutnya. Dan dia membuka matanya yang sedari tadi terpejam.
”Akhirnya kamu datang.”
”Tempat apa ini.”
”Ini tempat yang kuceritakan. Di sini kamu bebas berbuat sesuka hatimu. Di sini kamu dapat memanjatkan harapanmu sepanjang waktu dan terkabul. Karena setiap detiknya ratusan bintang akan melesat dan jatuh di padang bintang itu.”
”Benarkah aku dapat bebas di sini. Apapun harapanku dapat terkabul.”
”Ya...tidak akan ada yang menyakitimu di sini. Kamu akan bahagia.”
***
Tak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi. Mengapa ada orang yang memilih diam dan tenggelam dalam pengembaraan pikiran. Tak ada satu orang pun yang tahu dengan pasti mengapa ada orang yang dapat terpaku sekian lama dan hanya diam dan menatap ke tempat yang sama.
Tak ada orang yang tahu dan mungkin pula tak mau tahu. Dan mereka juga tidak tahu, bahwa di dalam sana, di rumah itu, di balik jendela itu, seseorang yang memiliki mata yang begitu kesepian dan terluka kini tak lagi bernyawa. Dia tergeletak dengan posisi yang sangat apik dan menggunakan pakaian terbaiknya. Hanya saja keindahan pakaian itu ternodai dengan lumeran darah dari tangannya. Tak ada seorang pun yang tahu jika dia melakukan semuanya dengan tersenyum.
selesai
Dan aku telah penat dengan rutinitas konyol itu. Aku muak dengan orang-orang yang meneriakkan kekurangan waktu dalam satu hari untuk menjalankan semua aktivitasnya. Ha, taik kucing itu semua. Apakah mereka yakin tidak akan berbuat yang sama jika satu hari tak lagi 24 jam, 36 jam atau 72 jam misalnya. Toh nanti jika Tuhan mengubah putaran waktu sesuai kehendak mereka, aku yakin mereka juga akan berkoar-koar, ”Aku tak punya cukup waktu untuk melakukan ini, melakukan itu.” Bah, apa mereka pikir waktu itu dibuat hanya untuk memuaskan kepentingan mereka.
Aku begitu penat melihat roda kehidupan yang bergerak begitu cepat. Langkahku tak dapat mengimbangi langkah dunia ini. Sel-sel dalam tubuhku tak berkehendak menyatu dengan keriuhan dunia. Sehingga hari-hari yang biasa ku lalui adalah hari-hari yang kubuat sebiasa mungkin untuk tak biasa.
Jalan-jalan ini kulalui seperti biasa. Hanya ada aku, jalan ini, dan angan. Lebih baik begini, satu persatu mengambil langkah dan memaknainya dengan sebenar-benarnya memaknai. Ku nikmati setiap hela nafas yang kuhembus dan kuhirup. Kurasakan setiap getaran dan gesekan saat aku melangkah dari aspal satu ke aspal lain. Dan kumaknai setiap jengkal waktu ini dengan diam. Dan hanya diam yang membuatku benar-benar merasakan setiap apa yang kulakukan. Tidak dalam hingar bingar.
Dan tuk kesekian kalinya jalan ini kulewati dalam diam. Teriknya mentari atau dinginnya terpaan hujan tak lagi menyurutkan inginku untuk tetap berjalan. Jika memang nanti aku lelah dan berhenti, maka itu memang kehendakku sendiri. Pun ketika aku berhenti siang ini di depan sebuah rumah yang cukup asri oleh rimbun pepohonan. Bukan karena apa atau siapa. Karena tiba-tiba aku ingin berlama-lama menatap rumah itu seakan ada sesuatu yang membuat mata dan pikiranku enggan beranjak dari sana.
***
Jiwaku serasa melayang-layang entah dibawa kemana oleh pusaran angin. Begitu gelap di sekitarku. Perlahan aku melihat gemerlap. Banyak sekali. Ya, aku tahu ini, di hadapanku terbentang langit dengan berjuta bintang. Dan, PLUK !!! aku terjatuh di sebuah padang rumput yang cukup luas.
’Dimana gerangan ini ?’ pikirku. Tempat ini begitu asing. Sebuah padang rumput dan padang bintang saling memeluk dalam gelapnya malam. Berkali-kali terlihat hujan bintang. Aku berpikir akan ada berapa ribu impian yang akan terwujud kalau mereka memohon di tempat ini. Tak kuhiraukan lagi di mana aku sekarang. Aku mulai menikmati keheningan ini. Di sini hanya ada aku, tak ada yang lain. Aku merebahkan tubuhku di atas hamparan rumput. Ketika melihat langit di atasku, kurasakan begitu dekatnya aku dengan bintang-bintang itu hingga dapat kuraih.
***
Aku benci rumah ini. Aku benci semua yang ada di sini. Mereka tak pernah mengiraukanku. Berkali-kali sudah kubilang aku tidak ingin dikurung dalam ruang pengap ini. Aku ingin berlarian di luar sana. Aku mau jalan-jalan. Aku mau bebas. Tak sedetik pun mereka mau membukakan pintu itu untukku. Aku hanya bisa melihat dunia luar dari jendela itu. Aku mulai bersahabat dengan jendela. Setiap waktuku habis di balik jendela itu. Setiap waktuku habis dengan diam.
Diam adalah satu-satunya cara untukku agar mereka yang ada di luar kamar ini tidak marah-marah padaku dan mulai membentak-bentak. Ada saja alasan mereka ketika aku mulai sedikit ”bersuara”. Katanya berisik lah, malu di dengar tetangga, atau ”suaraku itu” menganggu akktivitas mereka. Jadi, lebih baik aku diam. Diam dan memandang dunia luar lewat jendela.
***
Di teriknya siang dua anak manusia dari dua tempat yang berbeda saling memandang dalam diam. Keduanya hanya menatap satu sama lain tanpa reaksi lainnya. Mereka berdua tenggelam dalam kedalaman lautan misteri di mata mereka. Tak ada yang tahu mengapa keduanya sama-sama terpaku seperti patung. Hanya memandang dan diam. Orang-orang yang berlalu-lalang di jalan itu ataupun orang-orang di rumah itu pun tak tahu. Atau mereka tidak mau tahu.
***
Aku kembali berjalan di jalan ini seperti kemarin atau kemarinnya lagi. Kembali aku berjalan dalam diam. Aku ingin kembali ke tempat kemarin aku berhenti dan memandang sebuah rumah. Hingga ketemukan sebuah mata dan tatapan yang begitu menyayat. Mata yang begitu kesepian. Mata yang begitu terluka seakan telah mengalami semua penderitaan di dunia ini. Mata yang membuatku terpaku dan menatapnya sepanjang hari. Aku ingin kembali manatap mata itu.
***
Aku sekarang tak lagi ingin bersuara-suara. Aku telah menemukan kesenangan baru. Kemarin, saat aku seperti biasanya memandang dunia luar lewat jendela, aku menemukan mata yang begitu berbinar. Mata yang begitu bersemangat sekaligus menunjukkan sinar kelelahan. Mata yang sepertinya mencari sesuatu yang tak kutahu apa. Tapi mata itu ada di luar sana. Terpaku dan terus menatap ke arah ku.
***
Kedua orang itu kembali saling menatap dalam diam. Pikiran keduanya sama-sama mengembara.
”Siapa gerangan kamu ?” tanya orang yang di luar.
”Aku ingin pergi dari sini dan bebas sepertimu.” kata orang di balik jendela.
”Apakah kamu menderita di dalam sana ?” Orang di luar bertanya lagi.
”Sangat ! Aku ingin setiap detik dapat mewujudkan setiap inginku.” Kata orang di balik jendela.
”Keluarlah, aku akan menunjukkanmu suatu tempat yang mungkin kamu suka.” Orang di luar berkata lagi.
”Aku tidak bisa.” jawab orang di balik jendela.
Kata-kata terus mengalir melalui mata dan dalam diam. Dan tak ada seorang pun yang tahu apa yang tengah mereka bicarakan. Tak ada seorang pun yang tahu karena hanya ada dua sosok yang diam terpaku tak ada suara. Tak ada seorang pun yang tahu, mereka yang tengah ada di jalanan atau mereka yang ada di dalam rumah. Atau mereka tidak mau tahu.
***
Jiwaku kembali melayang-layang dan kali ini aku berharap semoga pusaran angin kan membawaku kepada padang bintangku kemarin. Aku tak mau dibawa ke tempat lain. Hanya pada padang bintanglah aku mau pengembaraan jiwaku terhenti. PLUK ! Sekali lagi aku terhempas pada padang rumput yang sangat ku kenal. Langit masih memeluk bumi di padang bintang ini. Kesunyian masih ada di sini.
Tak lama, semburat jiwa lain juga terhempas pada padang rumput ini tak jauh dari tempatku berada. Aku tersenyum menyambutnya. Dan dia membuka matanya yang sedari tadi terpejam.
”Akhirnya kamu datang.”
”Tempat apa ini.”
”Ini tempat yang kuceritakan. Di sini kamu bebas berbuat sesuka hatimu. Di sini kamu dapat memanjatkan harapanmu sepanjang waktu dan terkabul. Karena setiap detiknya ratusan bintang akan melesat dan jatuh di padang bintang itu.”
”Benarkah aku dapat bebas di sini. Apapun harapanku dapat terkabul.”
”Ya...tidak akan ada yang menyakitimu di sini. Kamu akan bahagia.”
***
Tak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi. Mengapa ada orang yang memilih diam dan tenggelam dalam pengembaraan pikiran. Tak ada satu orang pun yang tahu dengan pasti mengapa ada orang yang dapat terpaku sekian lama dan hanya diam dan menatap ke tempat yang sama.
Tak ada orang yang tahu dan mungkin pula tak mau tahu. Dan mereka juga tidak tahu, bahwa di dalam sana, di rumah itu, di balik jendela itu, seseorang yang memiliki mata yang begitu kesepian dan terluka kini tak lagi bernyawa. Dia tergeletak dengan posisi yang sangat apik dan menggunakan pakaian terbaiknya. Hanya saja keindahan pakaian itu ternodai dengan lumeran darah dari tangannya. Tak ada seorang pun yang tahu jika dia melakukan semuanya dengan tersenyum.
selesai
diam bukanlah pengecut tapi diam juga sebuah perlawanan....
Comments