Lara Lintang

/Yen ing tawang ana lintang/
/cah ayu/ aku ngenteni sliramu/
..................


Seorang perempuan tua tengah membelai rambut seorang gadis muda, yang nampak terlelap, di pangkuannya. Perempuan tua itu lirih-lirih melagukan tembang yang selalu ia lakukan di tiap-tiap malam menjelang si gadis tertidur. Rambut putih yang semakin banyak, rapi tergelung di atas kepalanya. Serta keriput-keriput tuanya tetap tak dapat menyembunyikan betapa besar cinta dan kasihnya kepada si gadis.
Sementara, si gadis terlihat nyaman terlelap di pangkuan perempuan itu. Wajahnya menyiratkan kedamaian dengan senyum samar yang menghiasi, hanya tangannya yang meremas-remas bola kecilnya.
“Nduk, kamu sudah tidur. Duh nduk, eyang ndak bisa terus-terusan njaga kamu. Kamu harus bisa jaga diri.” Perempuan tua itu berkata sambil terus membelai rambut si gadis. Mata perempuan tua itu menerawang jauh menembus kisi-kisi jendela. Dari kisi-kisi jendela itu si perempuan tua dapat melihat gemintang di langit di langit kelam malam itu. Ia selalu berharap gadisnya dapat memiliki sinar seterang para bintang. Tanpa harus berharap pantulan sinar dari manapun.
***
Aku Lintang, entah ku tak tahu asal-muasal nama itu. Tapi, cukuplah aku tahu kalau aku memiliki sebuah nama. Aku tinggal di sebuah rumah, besar sekali. Ada banyak kamar di sini. Juga ada banyak barang-barang yang berkilau. Lampu seribu cahaya ada di setiap ruang. Ah, tapi aku tidak suka semua itu. Karena itu semua itu tidak membuatku leluasa bergerak. Aku tidak bisa bebas bermain dan berlarian. Di rumah ini ada banyak sekali orang tapi tak satupun yang hirau padaku. Aku tidak suka pada mereka di dalam rumah, tidak boleh berteriak, tidak boleh ini, tidak boleh itu. Aku tidak suka semua itu.
Aku lebih suka dan nyaman berada di kamar. Berdiri berlama-lama di balik jendela dan memandang langit di malam hari. Yang aku nanti adalah kerlip gemintang yang akan selalu menyapaku. Hanya bintang yang mengerti aku. Karena aku bisa berbicara berlarat-larat cerita tentang keseharianku, perasaanku, apa yang aku lihat, dan apa yang aku rasakan tanpa takut akan dihentikan atau disela. Dia akan menyimak dan mendengarkan setiap kata-kata yang aku sampaikan hingga aku lelah untuk becerita dan beranjak dari jendela untuk kemudian tidur. Begitu saja selalu setiap malam.
Namun, suatu hari ada hal lain yang membuatku nyaman di rumah ini. Ada ibu-ibu tua yang selalu menggunakan kebaya dan kain setiap harinya. Ia datang dengan membawa kasih dan sayang yang melimpah untukku. Tak sedikitpun perhatiannya luput dari aku. Ia tak pernah membentakku, memarahiku, atau memukulku sekalipun. Ibu tua itu menemani aku di setiap saat. Jika aku mau makan dia ada untuk menyuapiku makan. Kalau aku sudah waktunya mandi maka dia akan membimbingku ke kamar mandi dan dengan sabar ia menggosok tubuhku. Atau jika malam menjelang dan sudah waktuku tuk terlelap maka pangkuannya adalah tempat paling nyaman untuk merebahkan segala kelelahan. Aku bahagia dan senang sekali semenjak ada dia rumah ini.
***
Di meja makan pagi itu, keluarga Wijaya berkumpul untuk sarapan. Di sela-sela acara makan, mereka nampak membincangkan sesuatu. Topik yang paling sering dibincangkan di setiap momen kumpul keluarga adalah tentang Lintang. Dan kini, terlebih dengan keberadaan eyang putri, ibu dari Wijaya, sudah pasti Lintang adalah topik utama pembicaraan kali itu.
“Bagaimana Pi, apa yang harus kita lakukan untuk Lintang ? Mami nggak tahu lagi harus menghadapi dia dengan cara apa.” Kata Diana istri Wijaya. Mendengar pertanyaan istrinya Wijaya mengerutkan kening.
“Tapi, bagaimanapun Lintang kan juga anggota keluarga kita. Tempat Lintang ya di tengah-tengah kita.” Sela Wijaya menjawab keluhan istrinya.
“Tapi Pa, coba Papi bayangin kemarin waktu Edo ke rumah, Kak Lintang keluar dan muter-muter di ruang tamu. Aya kan malu.”Cahaya anak bungsu Wijaya menambahkan. Wijaya menampakkan wajah bingung. Sesekali ia melirik Ibunya yang sedari tadi hanya diam dan mendengarkan percakapan mereka.
“Sudahlah Pi, tidak ada lagi yang bisa kita harapkan dari Lintang hanya bisa mempermalukan keluarga kita. Mana ada gadis berusia tujuh belas tahun yang berbicara saja tidak bisa. Di mana muka kita ini ditaruh kalau ternyata semua orang tahu ada orang idiot di rumah kita. Lagipula kita punya anak gadis yang belum menikah. Papa mau mereka tidak laku kalau orang lain tahu merek punya saudara cacat seperti Lintang.” Diana terus menggerutu.
“Sudahlah Wijaya, kalau memang keluargamu keberatan Lintang ada di rumah ini biar dia Ibu ajak pulang ke Yogyakarta. Ibu masih sanggup mengurus dia. Kalian tidak perlu takut nama baik kalian rusak karena keberadaan Lintang.” Eyang putri akhirnya berkata.
“Tapi Bu...Mas Wisnu sendiri yang menitipkan Lintang kepada saya sebelum ia meninggal. Memang mungkin pada awalnya saya tidak bisa menerima keberadaan Lintang yang idiot...eh...maksud saya...e.... Tapi sekarang saya sudah mulai terbiasa dengan dia.” Jawab Wijaya kemudian.
Terbiasa, itu karena Papi pergi pagi pulang malam. Jadi papi nggak pernah ngerasain sendiri bagaimana malunya kami yang ada di rumah ketika ada tamu atau teman aku datang.” Gema, anak sulung Wijaya, membalas kata-kata Wijaya.
“Sudahlah, Ibu akan membawa Lintang ke Yogyakarta. Ibu nggak mau keberadaan Lintang di sini akan memecah keluarga kalian.” Tukas Eyang putri dan segera meninggalkan meja makan dan menuju ke kamarnya.
Suasana sarapan itu menjadi dingin kemudian. Mereka yang masih ada di situ saling memandang satu sama lain. Dan senyum penuh kemenangan ada wajah masing-masing dari mereka. Rencana yang mereka susun terlaksana dengan berhasil.
***
Lintang sedang berdiri di balik jendela ketika eyang putrinya masuk ke kamar. Lintang hanya diam menatap dunia luar. Tangannya terus meremas-remas bola karet warna merah. Eyang putri duduk di kasur dan terus memandangi Lintang. Lintang terus memandangi langit dari balik jendela itu. Sambil terus bergumam entah apa maksudnya. Melihat itu semua eyang putri menitikkan air mata. Eyang putri mendekati Lintang dan meraih tubuhnya untuk dipeluk. Tubuh tua eyang putri bergetar karena menahan tangis. Ia tidak pernah menyangka memilki cucu yang istimewa dan berbeda seperti Lintang.
“Lintang...Lintang...” Eyang putri mencoba memanggil Lintang. Tapi yang dipanggil tak bereaksi sedikitpun. Eyang putri lantas menolehkan wajah Lintang ke arahnya. Lintang memandang kosong wajah eyang putri sambil terus menggumam.
“Lintang, besok kamu ikut eyang yah ke Yogyakarta. Nanti kamu bisa lihat langit dan bintang di malam hari. Mau kan ?” Tanya eyang putri mencoba mencari jawaban dari wajah Lintang. Tapi Lintang tak menjawab sepatah kata pun. Ia hanya tersenyum samar dan memalingkan wajah dari eyang putri. Eyang putri hanya dapat menarik nafas panjang. Dan kembali menginggalkan Lintang dengan dunianya sendiri.
Eyang putri mengeluarkan semua baju Lintang dari lemari dan kemudian mengepaknya dalam tas. Eyang putri semua barang-barang kesayangan Lintang. Ia telah berkeyakinan akan membawa Lintang besok ke Yogyakarta. Paling tidak di sana ia dapat memastikan Lintang mendapatkan kasih sayang yang cukup dari orang-orang di sekitarnya.
***
Aku pergi dari rumah ini. Aku dibawa pergi entah ke mana. Tapi aku senang bisa pergi dari sini karena itu ketika aku dibimbing keluar dari rumah oleh Yang Ti, aku tertawa-tawa dan melonjak-lonjak kegirangan. Oh ya, aku naik mobil tapi bisa terbang ke langit tinggi...tinggi sekali. Dari sini aku bisa lihat langit lebih dekat dan gumpalan awan. Aku mau terus di sini.
Tapi setelah aku kembali ke bumi, aku menemui tempat yang berbeda. Di sini lebih sejuk. Rumah yang aku datangi juga berbeda. Sama besarnya tapi lebih sederhana. Dan aku bisa berlarian di dalam rumahnya karena tidak banyak barang-barang di sana. Yang Ti menunjukkanku sebuah kamar. Pasti nanti aku bisa melihat langit di malam hari karena ada jendela yang cukup besar di dalamnya.
“Lintang...kamu senang di sini ? Sekarang ini rumahmu, kamu tinggal dengan eyang.” Berkata-kata padaku. Mendengarnya aku hanya memandangnya sekilas dan kembali memainkan bola karet yang sedari tadi aku pegang. Yang Ti kemudian meninggalkanku di kamar sendirian. Dan aku masih tetap di sini berdiri di balik jendela.
***
Eyang putri sangat bergembira melihat Lintang bisa menikmati hari-harinya di Yogyakarta. Lintang menjadi jarang sekali berteriak histeris. Lintang kini sibuk bermain-main di taman dan tidak ada satupun orang yang melarangnya. Lintang kemudian berlama-lama memandangi bunga-bunga di taman. Ia sebelumnya tak pernah melihat sesuatu yang penuh warna dan berbau harum seperti ini. Kalaupun ia pernah melihat sekilas, ia tak benar-benar memperhatikan dengan seksama. Dan kini ia bebas melihat dunia luar yang ternyata sangat menyenangkan dibanding di dalam kamar.
Ketika Lintang sedang sibuk bermain di taman. Awang, anak kepala desa, masuk ke halaman rumah dengan membawa beberapa map. Kedatangan Awang, tiba-tiba menarik perhatian Lintang, ia tak lagi memperhatikan bunga dan kumbang. Ekor matanya mengikuti langkah Awang yang memasuki rumah. Ia terus memandangi Awang yang telah menghilang dari pandangannya. Eyang putri yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Lintang merasa bingung. Karena selama ini tak ada satupun orang yang mampu membuat ketertarikan Lintang begitu besar. Eyang putri lantas masuk ke rumah.
Di dalam rumah, Awang telah duduk di kursi siap dengan berkas-berkas yang tadi ia bawa. “Bu, ini semua berkas yang Ibu minta ditandatangani oleh Bapak. Semoga dapat berguna.” Kata Awang sambil menyerahkan berkas-berkas.
“Terima kasih ya, Wang. Paling tidak, Ibu sudah tenang sekarang tentang masa depan Lintang.” Kata eyang putri. Awang menanggapi kata-kata eyang dengan tersenyum.
“Maaf Bu, tapi apa Lintang itu gadis muda yang ada di taman depan tadi ?” Tanya Awang.
“Iya...Lintang memang terlahir istimewa. Dia tidak dapat berkomunikasi dengan baik juga tidak tanggap dengan lingkungan. Ya meskipun usianya sudah tujuh belas tahun tapi tingkah lakunya masih seperti anak-anak.” Eyang berkata sambil matanya berkaca-kaca. Awang mengangguk-anggukkan kepala.
“Ya, kalau begitu semoga Lintang betah tinggal di sini. Saya pamit dulu, Bu.” Awang meninggalkan ruangan itu. Ia berjalan menuju halaman dan di sana ia menemukan Lintang tengah memandang ke arahnya. Lintang hanya diam tak bergerak di sana hanya memandangnya.
“Hai Lintang, apa kabar aku Awang ?” Awang mencoba menyapa Lintang. Tapi Lintang tetap dalam posisinya semula dan terus masih memandangi Awang. Awang agak sedikit rikuh kemudian tersenyum pada Lintang.
“Lintang tidak bisa membalas sapaanmu Wang. Tapi kamu beruntung kamu berhasil membuat dia memperhatikanmu.” Eyang Putri berkata dari belakang Awang. Awang terkejut dan kemudian tersenyum pada eyang. Kemudian sekali lagi ia berpamitan pada eyang dan benar-benar pergi dari halaman rumah itu. Eyang tersenyum pada Lintang yang masih memandangi gerbang rumah.
***
Malam ini banyak yang ingin aku ceritakan pada bintang. Aku kembali berdiri di balik jendela. Mataku liar mencari keberadaan teman-teman malamku. Malam ini langit berselimut awan sehingga bintang, sahabatku, tampak malu-malu menampakkan diri. Tapi aku terus menunggu di balik jendela. Lalu dari luar kamar terdengar Yang Ti nembang. Suara Yang Ti memang merdu, enak didengar.
Aku ingin segera bercerita kepada bintang tentang rumah baruku dan banyak hal menyenangkan yang aku lakukan sejak aku di sini. Termasuk kisahku tentang pangeran. Tadi pagi aku bertemu dengan pangeran. Dia tampan sekali hingga mataku tak sedetikpun enggan meninggalkan sosoknya. Jantungku berdebar kencang ketika pertama kali mata ini menyerubuk sosoknya. Aku seakan tiba-tiba kehilangan kemampuan untuk bernafas.
Tapi itulah pangeranku yang telah membuatku terpaku beberapa saat. Tapi kemudian dia pergi dan menghilang dari balik gerbang. Aku selalu berharap esok aku dapat melihat pangeranku lagi. Aku tak sabar menunggu hari esok. Tapi apa nanti yang aku lakukan jika ada dia. Sementara tadi saja, bibirku langsung kelu ketika melihatnya pertama kali. Ah...sudahlah yang pasti aku ingin bertemu dengannya. Ah...bintang kamu kemana malam ini... aku ingin banyak bercerita padamu. Tapi aku terlalu lelah untuk menunggumu. Aku ingin segera tidur dan bermimpi tentang pangeranku.
***
Esoknya aku bangun dengan hati gembira. Aku akan menunggu pangeranku di taman depan. Langkahku ringan keluar dari kamar. Ada yang aneh, di luar kamarku banyak sekali orang berkumpul dengan wajah sedih. Ada apa sih... ? Aku mau bertemu dengan pangeranku malah disambut dengan sedih dan tangis. Mana semua orang memakai baju hitam. Aku segera berlalu dari ruang tengah rumah itu. Sekilas aku melihat mereka yang ada di situ duduk mengelilingi sesuatu yang ditutupi kain putih dan kain batik. Tapi aku tak menghiraukannya dan terus menuju taman di depan rumah.
Tapi tiba-tiba ada sebuah tangan meraih tanganku. Aku diam terpaku.
“Mbak Lintang...Eyang Putri, mbak.” Yu Jum berkata padaku. Tapi aku hanya diam mendengarnya. Yu Jum menarikku untuk masuk ke dalam rumah. Aku tidak mau. Aku ingin tetap di taman menunggu pangeranku. Tapi Yu Jum terus menarikku. Aku pun berteriak meronta-ronta
“Aaaaaa....Aaaaa...”
“Aaaaaa....Aaaaa...”
“Aaaaaa....Aaaaa...”
Tapi kemudian semakin banyak orang yang menarikku masuk ke rumah. Aku tidak tahu apa maksud mereka. Kemudian aku didudukkan di depan gundukan yang ditutupi kain di tengah orang-orang yang ada di situ. Salah satu dari mereka membuka kain itu perlahan. Aku melihat di sana eyang putri tertidur di sana. Lalu mengapa semua orang sini ? Mereka akan menganggu tidur eyang putri. Aku terduduk diam saja di situ. Aku tidak mau mereka menarik-narikku lagi. Aku tidak mau membuat eyang putri terbangun.
Tapi kemudian, mereka membawa eyang putri dalam keranda besi dan menggotongnya pergi entah ke mana. Aku merasa mereka akan menjauhkanku dengan eyang putri. Aku nggak mau mereka merampas satu-satunya orang yang menyayangi aku. Aku berteriak-teriak pada mereka untuk berhenti tapi tak ada yang menghiraukan. Aku menarik-narik satu persatu dari mereka tapi mereka tetap berjalan terus.
“Ang...iii....Angg...iiiiii” Teriakanku memanggil eyang putri. Aku terjatuh dan air mataku bertetesan ke tanah. Lantas Yu Jum mengangkatku dan membimbingku untuk berjalan mengikuti rombongan.
***
Sepeninggal eyang putri, Lintang menjadi tak terkontrol. Kepala desa yang diberikan amanah oleh eyang putri untuk mengurusnya pun menyerah. Lintang sering berkeliaran di jalan. Jika sudah begitu ada saja orang yang akan mengantarkannya pulang ke rumah setelah menemukan Lintang jauh di luar desa. Yu Jum yang diberi tanggung jawab untuk mengurus rumah juga kewalahan dengan perilaku Lintang yang tak ia ketahui maksudnya apa. Eyang putri memang meninggalkan hartanya untuk Lintang. Tapi dia tidak meninggalkan orang yang benar-benar mengerti dan menyayangi Lintang. mereka yang sekarang berada di sekitar Lintang tak tahu harus mengartikan apa setiap hal yang dilakukan Lintang.
Kegemparan terjadi beberapa bulan setelah meninggalnya eyang putri, Lintang diketahui tengah hamil. Kontan satu desa gempar mengingat keadaan Lintang yang tidak biasa. Mereka mempertanyakan siapa anak dari janin yang ada dalam kandungannya. Mereka semakin mengucilkan Lintang. Perut lintang semakin membuncit tanpa ada yang tahu siapa ayah dari anaknya. Yu Jum sering melarang Lintang keluar rumah. Tapi ia sering kecolongan karena tiba-tiba Lintang tidak ditemukan di rumah.
Tapi Lintang belum sempat melahirkan anaknya dan merasakan menjadi seorang ibu. Karena pada suatu hari ketika Lintang pergi dari rumah dan berkeliaran di jalan. Kemudian di penghujung hari, ia kembali pulang hanya dengan jasadnya saja. Kata beberapa orang Lintang tertabrak truk sayur yang akan ke kota. Sopir itu berhasil ditangkap oleh massa. Tapi nyawa Lintang tak sempat tertolong termasuk bayi dalam kandungannya.
***
Lintang tak pernah minta untuk dilahirkan dengan keadaannya yang sekarang. Lintang tak pernah meminta semua orang menerima dan memahami keadaannya. Ia pun tak pernah mengeluh atas semua yang ditimpakan padanya. Tapi sejatinya, Lintang hanya gadis remaja yang juga dapat merasakan lara dan derita. Tapi Lintang hanya diam atas semua. Diam pada semua orang.
Hingga akhir hayatnya tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Lintang. Tak ada yang benar-benar mengerti tentang kehidupannya dan apa maksud semua yang dia lakukan. Terutama siapa ayah dari bayi dalam kandungannya. Karena memang Lintang tak pernah berkata pada siapapun. Hanya kepada bintang di saat langit tengah beranjak kelamlah ia jujur tentang semua kisahnya. Tak ada pertanyaan dan percakapan tentang Lintang semenjak itu di desanya terutama dari keluarganya. Semuanya telah melupakan Lintang. Tapi rahasia Lintang tentang kisahnya tetap abadi. Kisah tentang lara dan deritanya. Seabadi bintang yang ada di langit kelam.

-----------------
Ketika semua makhluk telah terlelap dalam singgasananya. Dalam pelukan sunyi dan kelam bintang dan langit menyatu dalam peraduan. Mereka telah menyatukan keabadian hasrat dan cinta dalam diam. Rahasia mereka abadi selamanya. Janji seia dan sekata telah dikesumatkan. Janji yang tak tersuarakan. Janji yang selalu digenggam erat oleh bintang. Hingga akhirnya sinarannya telah redup dan menghilang dalam pelukan sunyi dan kelam.

Comments

Popular posts from this blog

Apakah Catatan Saya Berguna??

Ukiran Sebuah Pertemuan

Pijar Lentera Keempat Kemudian Padam