Lari--sebuah cerpen
Pemakaman itu nampak ramai. Wajah-wajah penuh duka dengan semburat kemuraman memenuhi sekeliling liang lahat. Namun perempuan itu nampak terdiam. Tak ada tangis. Tak ada pula suara. Airmatanya telah lama kering. Sudah terlalu lama ia menangis.
‘Mas, aku tidak tahu, aku harus sedih atau bahagia melihat kepergianmu. Tapi kalau saja kamu mau bijak, dan benar-benar memegang janji setia kita di depan altar waktu itu, mungkin sekarang kita dapat hidup bahagia dengan anak-anak kita. Tapi sudahlah mas, tenanglah di sisi Tuhan. Sekarang aku akan melanjutkan hidupku. Terima kasih telah memberiku pengalaman hidup yang membuatku bijaksana. Selamat Jalan Mas, kamu telah memilih berlari dari hidupmu. Sekarang, nikmati perjalananmu.’ Perempuan itu menaburkan bunga di atas pusara suaminya.
***
Entah sampai kapan laki-laki muda itu akan bertahan. Ia mencoba untuk terus terapung hanya dengan sebongkah kayu sebagai pegangan. Langit terus berubah warna kadang gelap kadang terang. Ombak terus memainkan tubuhnya. Tubuh yang selama ini ia banggakan rupanya tak ada artinya sekarang. Ketika ia berada di tengah lautan luas. Bersama lelaki itu ada beberapa orang lainnya yang juga berjuang untuk tetap berada di permukaan laut. Ada yang beruntung dengan memakai tambahan pelampung. Ada yang tidak.
Setiap muncul kecipak air dan deru air yang bertabrakan dengan benda logam, pengharapan mereka muncul kembali. Berharap itu adalah malaikat penyelamat mereka. Namun, ketika tak satupun malaikat yang mendekat dan mengangkat mereka dari pusaran ketidakpastian ini, harapan mereka pupus. Begitu terus dan entah sampai kapan.
Sebagian dari mereka menyerah, lapar, takut, dingin, dan rasa ketidakpastian membuat mereka lebih memilih lari ke dalam tidur. Bukankah tidur baik ketika tubuh begitu lelahnya. Bukankah mimpi dalam tidur dapat sedikit mengobati kekecewaan pada dunia nyata.
Seperti mereka tidak sadar dan tidak mengerti mengapa mereka dapat berada pada keadaan macam ini. Mereka juga tidak sadar sejak kapan, tubuh-tubuh mereka sudah berada pada tempat berbeda. Ada yang melihat tubuhnya terbujur kaku pada dek kapal, ada juga yang melihat tubuhnya terbungkus plastik kuning. Bagaimana dengan laki-laki muda kita. Ia tengah dibantu untuk menghangatkan badan oleh laki-laki lainnya. Sebuah kopi hangat menyentuh lambungnya yang berhari-hari tidak bekerja. Tubuh bagian belakangnya seperti mati rasa. Laki-laki muda itu hanya dapat terduduk tanpa reaksi.
***
Sepasang suami istri yang nampak kelelahan keluar dari ruang dokter.
“Bagaimana pak? Apa kita harus beritahukan hal ini kepadanya.” Tanya si Ibu.
“Tidak. Anggap saja kita tidak pernah mendengar kabar ini.” Jawab Si Bapak sambil berjalan tanpa emosi menuju kamar anaknya.
***
Lagu pujian nan syahdu itu begitu menyesak ke sanubari setiap orang yang hadir. Lantunan doa terus keluar dari bibir mereka. Dan di altar itu terdapat dua anak manusia tengah mengikat janji setia.
“Anakku bersediakah kamu menerima Samuel Danandjaya menjadi suamimu dan mendampinginya di saat bahagia ataupun sedih, saat sehat ataupun sakit, saat kaya ataupun miskin, hingga Tuhan memisahkan kalian.” Kata Bapa.
“Saya bersedia.” Jawab perempuan muda itu.
“Anakku bersediakah kamu menerima Kara Anabel Wijaya menjadi istrimu dan mendampinginya di saat bahagia ataupun sedih, saat sehat ataupun sakit, saat kaya ataupun miskin, hingga Tuhan memisahkan kalian.” Kata Bapa lagi.
“Saya bersedia.” Jawab laki-laki muda itu.
Aura cinta dan bahagia sangat terasa pada dua insan itu. Dan aura itu kini menyebar ke diri masing-masing yang hadir.
***
Kamar itu pecah dengan sebuah suara tamparan dan disusul dengan tangisan.
“Dasar perempuan sial!!!” Laki-laki itu menghardik perempuannya.
“Sial, aku salah apa Mas?” Tanya perempuan yang tengah terduduk di ranjang.
“Semua salah kamu. Lihat sudah berapa tahun kita menikah. Lima tahun. Tak satupun ada tanda-tanda kamu hamil. Dasar perempuan sial. Perempuan mandul. Atau aku ceraikan saja kamu. Untuk apa aku memelihara perempuan yang tidak bisa memberikan aku keturunan.” Laki-laki itu terus mengeluarkan kata-kata pedasnya.
“Maksud kamu apa? Aku mandul? Tidak bisa punya anak? Dari mana kamu tahu? Bukankah aku sudah mengajakmu untuk periksa ke dokter. Kamu tak mau.” Jawab perempuan itu sambil terisak.
“Aku tidak perlu periksa ke dokter. Aku baik-baik saja. Bukannya kamu yang harus periksa, untuk memastikan kalau benar kamu mandul?” jawab laki-laki itu sinis.
“Aku tidak mandul, mas. Aku sehat. Dokter yang menyatakannya, karena itu ku mengajak mas untuk periksa.” Jawab perempuan itu dan disambut dengan tamparan lagi yang lebih keras dan membuat telinganya nyeri.
“Apa maksud kamu? Aku mandul? Dokter keparatmu itu salah, bukan aku yang mandul tapi kamu. Dengar itu. Rasakan ini.” Kata-kata itu terus meluncur ditambah dengan tamparan. Kemudian laki-laki itu membuka baju perempuannya dengan paksa dan persetubuhan layaknya binatang terjadi di kamar itu. Tak ada cinta. Tak ada gairah kesenangan. Tak ada pujian dan doa. Tak ada. Hanya ada tangis.
Laki-laki itu meninggalkan perempuannya di kamar dan keluar rumah entah kemana.
***
Bulan-bulan dan tahun-tahun perjuangan mengharuskan si perempuan untuk tetap bertahan dalam kehidupan yang tak pasti. Bisa saja dia lari dari semua ini. Tapi dengan lari ia tidak bisa membuktikan kebenaran.
“Mas, aku hamil.” Kata perempuan itu suatu pagi. Laki-laki itu terperanjat mendengarnya.
“Benar kamu hamil?” Tanya laki-laki itu sambil meraih pundak perempuannya.
“Ya, mas aku sudah telat dan aku juga sudah periksa ke dokter. Aku hamil 5 minggu.” Jawab perempuan itu.
Begitu mendengar kabar itu, si laki-laki menggendong perempuannya dan berteriak-teriak gembira.
“Yiha…..haahaaahaaa Aku punya anak.”
“Terima kasih Ra, Aku saying kamu.” Kata laki-laki itu pada perempuannya. Dan sebuah ciuman mesra mendarat di bibir kecil perempuan itu.
***
Hari penentuan bagi perempuan itu telah datang. Orang tua si laki-laki pun gelisah. Apa lagi orang tua si perempuan. Ibu si perempuan ada di dalam ruang bersalin menemani anaknya yang sedang berjuang. Begitu suami perempuan itu. Ia menemani perempuannya yang berjuang melahirkan keturunannya. Kebanggannya. Penerus namanya.
“Berjuanglah sayang. Keluarkan anakku dari rahimmu. Berilah kehidupan pada keturunanku. Penerus nama keluarga kita. Ayo istriku teruslah berjuang.” Lelaki itu menyemangati.
Si perempuan menahan sakitnya dan tersenyum.
‘Tanpa disuruh pun aku pasti akan berjuang untuk mengeluarkan jabang bayi ini dari rahimku. Karena hanya dengan begitu aku akan menunjukkan kebenaran yang sebenarnya. Lagipula bukankah itu sudah kodratku sebagai perempuan. Aku lahir dan wajib berbakti pada orang tua, menaati apa yang dtitahkan oleh orang tuaku. Aku besar dan mengenal cinta. Menikah dan akupun berganti mengabdi pada suami. Hamil dan mempunyai anak. Mengurus suami, anak, dan rumah. Jika satu saja hal di atas tidak terjadi dalam fase hidupku. Maka aku disebut perempuan cacat. Tidak sempurna. Seperti tahun-tahun yang lalu. Dunia menudingku sebagai perempuan mandul, yang tidak bisa memberikan keturunan bagi suamiku. Tidak bisa memberikan anak yang akan meneruskan nama besar keluarga suamiku. Kini semua harapan ada pada jabang bayi yang sekarang akan keluar. Semua kebenaran. Semua pembuktian. Sebuah kewajiban dan wujud dari titah kodrat yang melekat padaku. Keluarlah nak. Ibu telah menanti kedatanganmu di dunia.’ Pikiran perempuan itu terus berkecamuk diantara rasa sakit, suara dokter dan suster yang mengarahkan proses persalinannya, dan juga tatapan mata penuh harap dari Ibu dan suaminya.
“AAAAAAAAAAAAA.....” Perempuan itu berteriak melepaskan rasa sakit yang dari tadi ia tahan. Dan sewujud bayi keluar dari selangkangannya. Si laki-laki berteriak gembira. Dan mendekati si jabang bayi yang masih merah.
“Ya Tuhan, apa-apaan ini. Brengsek.....Perempuan sialan. Pelacur.” Teriaknya sambil menghambur keluar kamar bersalin. Ibu si perempuan mendekati cucunya. Begitu melihat cucu yang selama ini ia tunggu. Ia terkejut dan menutup mulutnya dan turut keluar.
Perempuan itu bernafas lega. Ia menyambut anak yang telah ia nantikan. Melihat anaknya ia tersenyum. Senyum penuh kemenangan.
***
Perempuan itu tengah menggendong anaknya di hari kemudian. Di temani semua orang yang meminta penjelasan darinya. Yang pasti juga laki-laki yang juga suaminya itu.
“Katakan hai pelacur siapa ayah anak terkutuk itu? Akan kubunuh dia.” Tanya laki-laki itu.
“Mengapa, mas menanyakan siapa ayah anak ini. Bukankah, mas adalah suamiku, pastinya ini anak mas.” Jawab perempuan itu dengan tenang dan ia mengeluarkan senyum manisnya.
“Huh...Orang goblok juga tahu kalau anak itu bukan anakku.” Jawab laki-laki itu.
“Sudahlah Nak, katakan saja siapa sebenarnya ayah anakmu itu. Beres masalahnya.” Ibu si perempuan itu sambil menangis.
“Iya, lihatlah anakmu berkulit hitam dan berambut keriting. Riwayat keluarga kami tidak ada yang mempunyai ciri fisik macam itu. Semakin cepat kamu jujur, kita akan selesaikan masalah ini baik-baik.” Kata Ayah si laki-laki.
“Sudahlah...tidak perlu lagi kita mendengar omong kosong, pelacur murahan ini. Muak aku melihat wajahnya dan anak itu.” Kata laki-laki itu sembari beranjak pergi.
“Tunggu mas, jangan sampai mas pergi sebelum mas mendengarkan penjelasanku. Setelah nanti aku jelaskan semuanya, silahkan mas lakukan apa yang mas kehendaki.” Kata perempuan itu sambil tersenyum. Dan terus menyusui anaknya. Setelah ia melhat wajah anaknya, ia menarik napas panjang dan menghembusknnya.
“Akhirnya saat ini datang juga, sebelumnya saya ingin minta maaf pada Mama dan Papa, juga Ibu dan Ayah, maaf jika apa yang telah saya lakukan menyakiti hati dan juga mengecewakan semuanya.” Perempuan itu berhenti sejenak.
“Perihal tentang anak ini, ia adalah anakku. Selama ini Mas menuding aku sebagai perempuan sial dan tidak beguna hanya karena aku tidak dapat memberikan keturunan untuk mas. Itu kata mas. Berkali-kali kukatakan pada mas, kalau Aku tidak mandul. Aku punya dasar, mas. Punya bukti. Aku telah memeriksakan kesehatan dan kemungkinan aku punya anak. Dan hasilnya aku sehat dan dapat mempunyai anak kapanpun kumau. Tapi sekalipun mas tidak mau diajak untuk periksa. Aku tak pernah memaksa mas untuk ke dokter.” Ia berhenti dan menimang anaknya.
“Aku lelah mas, aku lelah terus-terusan kamu salahkan. Kamu tidak pernah berpikir yang paling menderita karena kita tidak mempunyai anak bukanlah kamu tapi aku. Semua orang menudingku dan memandang hina padaku. Pun termasuk kamu. Orang yang berjanji setia, susah dan senang hidup denganku. Aku kecewa mas. Kecewa atas perlakuanmu. Dan kecewa karena harusnya kamu memberiku semangat untuk menjalani ini semua tapi kamu makin menjatuhkanku ke jurang derita.” Ia berhenti untuk memandang sekelilingnya. Orang tuanya berdiri di sampingnya dengan linangan air mata. Mertuanya berdiri terpaku di ujung sana. Dan suaminya duduk di sofa bergeming dengan tatapan penuh kebencian.
“Di tengah pusaran rasa takut dan kecewa, Dokter Frans memberikan sebuah kabar padaku. Ia berkata, ada sebuah teknologi dalam ilmu kedokteran yang memungkinkan seseorang melakukan pembuahan di luar tubuh, atau istilahnya pembuahan in vitro, jadi sel telurku dapat dibuahi walaupun aku tidak melakukan hubungan seks. Dokter Frans, mengatakan jika aku bersedia, sepenuhnya pembiayaan ia yang menanggung. Karena ia sedang melakukan riset untuk hal ini. Aku pun setuju. Kami membuat kesepakatan, salah satu kesepakatannya adalah aku ingin sperma yang membuahi sel telurku adalah bukan sperma mas, suamiku. Aku ingin itu adalah milik orang lain yang secara fisik berbeda 180° dengan Mas.” Mata perempuan itu menatap tajam laki-lakinya.
“ Apa maksudmu, pelacur.” Sentak laki-laki itu.
“Hentikan menyebutku pelacur ataupun sebutan kotor lainnya mas. Karena aku bukan seperti apa yang mas katakan. Aku memang mempunyai anak bukan darimu. Aku memakai sperma orang yang bahkan tak kukenal. Bukan untuk apa-apa. Bukan untuk melacurkan diri. Apalagi menghinakanmu mas. Aku hanya ingin membuktikan kalau aku tidak mandul. Aku dapat memberimu keturunan. Ya, aku bisa. Anak ini buktinya.” Perempuan itu mengangkat anak dalam gendongannya. Laki-laki itu nampak sedikit bereaksi. Ia mulai gelisah.
“Ibu dan Ayah sekarang mengerti kan, anakmu ini masih tetap anakmu yang suci. Aku tidak pernah berbuat zina dengan siapapun. Anakku tersayang ini lahir atas kehendakku sendiri, pastinya juga atas kehendak Tuhan. Sekarang mungkin kalian mulai bingung dan bertanya-tanya. Jika aku ternyata dapat memberikan keturunan, lantas mengapa tahun-tahun berlalu tanpa ada anak yang meramaikan kehidupan kami. Untuk itu aku tidak bisa menjawabnya. Mungkin ada yang dapat menjelaskannya pada kita semua. Terutama padaku.” Kata perempuan itu pada akhirnya.
“Hem...Maksud kamu aku yang mandul, begitu. Tidak mungkin.” Jawab laki-laki itu tetap dengan nada sombongnya.
“Sekali lagi mas, aku tidak berniat menyalahkan siapa-siapa. Kapasitasku berbicara dalam hal ini adalah untuk membuka kebenaran yang sebenarnya. Bahwa aku bisa punya anak. Itu saja.” Perempuan itu berkata lagi.
Kamar rumah sakit itu hening sejenak, tak ada yang bersuara. Termasuk bayi mungil itu. Sejak tadi ia terus tertidur di dekapan Ibunya. Ia tidak tahu kalau keberadaannya telah perdebatan panjang di antara orang tuanya. “Ehmmm...Sebenarnya sejak kecelakaan waktu itu, kamu divonis tidak akan bisa mempunyai keturunan, nak.” Kata Ayah si laki-laki pelan pada anaknya. Laki-laki itu seketika beridiri dengan muka marah dan penuh kebencian.
“Apa-apan Papa ini, mengapa Papa membela perempuan itu. Aku tidak mandul, sekarang pun jika aku mau aku bisa memberikan Papa cucu.” Kata laki-laki itu dengan nada tinggi.
“Tapi itu benar, Nak. Mama pikir kamu sudah tahu, karena bukankah kamu pernah melakukan General Check Up di Singapura.” Jawab mamanya.
“Tidak....Itu tidak benar, aku bisa punya anak. Kalian semua bersekongkol untuk menjebakku, menjatuhkan harga diriku. Aku baik-baik saja. Aku sehat. 100 anak pun aku bisa berikan. Aku tidak mandul. AAAAAAAhhhhhhhh.....Kalian semua brengsek. Kamu juga perempuan sial. Juga anak setanmu itu. Haaaaaaaaaa” Laki-laki itu histeris dan berlari keluar dari kamar putih itu. Orang tuanya mengikuti setelah mencium anak menantunya.”
Perempuan itu tersenyum puas. Senyum penuh kemenangan. Akhinya ia dapat melihat kebenaran yang selama ini tersingkap dari hidupnya.
***
Laki-laki itu terus berlari menjauhi rumah sakit. Selama ini ia mencoba berlari dari kenyataan yang telah lama ia ketahui. Ia mandul. Ya ia tahu tentang hal itu. Tapi ia tidak pernah mengakuinya. Dan menjatuhkan semua kesalahan pada istrinya. Ia puas atas hal itu. Ia terus lari dari kenyataan yang ada. Dan ia mulai menikmati dan nyaman atas kebohongan yang ia ciptakan. Dan makin tenggelam di dalamnya. Dan kini ia dipaksa untuk bangun dari dunia kebohongan yang ia ciptakan.
Laki-laki itu nampak tidak rela kembali dalam nyatanya hidup. Ia terus berlari. Berlari bukan hanya dari hadapan istrinya yang melakukan hal gila hingga semua ini terbongkar. Tapi juga berlari dari kenyataan.
Kemudian laki-laki itu berhenti berlari dan tersenyum penuh kemenangan. Temannya telah datang padanya. Setelah sekian lama. Ia menerima uluran tangan itu.
***
Comments