Kisah tentang Rintik Hujan dan Anak Payung
Pagi ini begitu dingin sepertinya aku tidak berada di kotaku saja. Kotaku yang identik dengan hawa panas dan kering kini berubah lebih dingin dan sejuk. Ya...sepertinya dewi hujan masih betah untuk mencurahkan airmatanya di kotaku ini. Hingga hampir setiap saat jalanan kota ini akan basah karena kucuran airmata dewi hujan. Dan begitupun pagi ini, rasanya malas sekali beranjak dari dalam kamar, di luar hujan masih turun. Tapi bagaimanapun kehidupan harus terus berjalan tidak mungkin hanya karena hujan laju kehidupan berhenti.
Dan begitupun aku, yang kemudian beranjak keluar menemui sejuknya udara pagi itu. Sepiring nasi goreng dan segelas jus jeruk di atas meja membantuku melewati pagi yang dingin ini. Aku segera menyelesaikan hidangan pagiku dan bergegas pergi ke tempatku mengadu nasib. Tempatku mendapatkan nafkah. setelah perutku cukup terisi, aku menghampiri motor bututku di lorong samping rumah. Dengan motor butut ini aku melewati hari-hariku di jalanan.
Jalanan kota ini telah basah, sepertinya hujan semalam masih meninggalkan sisa-sisa langkahnya di jalanan kotaku. Aku melajukan motorku lebih kencang meskipun angin dingin serasa menusuk kulitku. Aku menuju sebuah plaza di kotaku. Sebuah plaza yang bersandingan dengan monumen kebanggan kotaku. Aku pelayan di sebuah restoran cepat saji di sana. Dengan pekerjaan itulah aku dapat bertahan untuk membiayai kuliahku.
Segera aku memasuki areal plaza, aku menuju tempat parkir motor untuk menitipkan motorku selama aku bekerja. Gerimis kecil menyambutku sesampainya aku di sana. Aku sedikit berlari menuju pelataran plaza agar seragam kerjaku tidak terlalu basah karena hujan. Di saat aku berlari-lari kecil pandangan mataku tertumbuk pada beberapa anak kecil yang berjalan menuju pelataran plaza. Anak-anak itu membawa payung tapi tidak untuk dipakainya. Hanya ditutup saja. Sementara tubuh mereka mulai basah karena airmata dewi hujan.
***
"Mbak...Mas...Om...Tante...Payung."
"Payungnya mbak...mas...daripada kehujanan. Saya antar sampai parkir."
"Jok entuk piro?" Tanya Dodik. Anak yang bertubuh paling besar diantara teman-temannya.
"Loro, Dik. Iku ae sik dienyang. Koen piro?" Tanya Joko balik.
"Siji...Wonge pelit-pelit. Wani kudanan timbang nyewo payung." Jawab Dodik.
"Yo wis lah...balik ta iki, moleh ae, wis sepi aku yo kademen." Sergah Tono, anak-anak laki-laki lainnya.
Kata-kata Tono disambut anggukan oleh teman-temannya yang lain. Mereka berjalan menjauh dari plaza itu. Mereka menuju terminal tua yang telah lama beralih fungsi sebagai rumah mereka.
Tanpa mereka ketahui di balik kaca-kaca plaza itu. Di dalam sebuah restaurant cepat saji, seorang gadis yang tengah membersihkan meja telah memperhatikan gerak-gerik mereka. Pandangan gadis itu lekat pada anak-anak itu hingga mereka meninggalkan plaza. Dan gadis itupun melanjutkan pekerjaannya.
***
Hujan hari ini turun terus dengan derasnya. Kendaraan di jalanan berjalan merambat berharap hujan akan berhenti berganti terang jauh di depan mereka. Orang-orang yang sedari tadi berada di dalam mall nampak berdiri di depan pintu masuknya. Sesekali melongok ke luar pintu kaca berharap hujan reda malam itu. Mungkin mereka ingin pulang ke rumah dan membuka belanjaan mereka sedari tadi.
Aku berdiri di antara belasan orang yang berdiri menunggu hujan sedikit reda. Sesekali aku melihat arloji di tanganku. Pukul 9 malam. 'Kalau aku nggak pulang sekarang bisa-bisa kemaleman sampai di rumah' pikirku. Sementara itu satu persatu orang di kanan kiriku telah beranjak pergi dengan ojek payung di samping mereka.
"Mbak, payung mbak, 3000 ae mbak, yo mbak?" seorang anak laki-laki menghampiriku menawarkan jasanya. Aku memandangnya dengan seksama dari bawah hingga atas. Sepertinya aku kenal anak ini.
Anak laki-laki itu masih saja memandangku, "Yok mbak, kemaleman loh nanti." Mendengar kata-kata itu sekali lagi aku melihat arloji di tangan. "Ya udah, sampai parkiran ya." Kataku singkat, disambut sunggingan senyum di wajahnya. Segera ia membuka payung yang sedari tadi ditentengnya. Diarahkannya payung itu ke arahku. Kami berjalan menuju tempat parkir.
"Dari siang aku lihat kamu ada di sini. Nggak sekolah?" Tanyaku.
"Nggak mbak, aku kerja." Jawabnya singkat. Jawabannya membuatku terpekur.
"Nama kamu siapa?" Tanyaku lagi. "Dodik, mbak." Jawabnya singkat. Aku memandangnya lagi dengan seksama sambil sesekali melihat jalan di depan.
"Nama mbak, Dina." Kataku padanya. Dodik tidak memberikan reaksi apa-apa ketika aku menyebutkan namaku.
Malam itu aku berpisah dengan bocah lelaki penyewa payung di tengah rintik hujan. Dan sejak itu bocah itu tak pernah hilang dari ingatanku. Bocah laki-laki kurus dengan payung di tangannya dan tubuh yang hampir semuanya basah.
***
Hari ini aku dapat shift sore, lumayan bisa mampir kampus dulu tadi mengerjakan beberapa tugas kuliah. Dari kampus aku harus memacu motorku lebih cepat karena langit mendung telah membayang di belakangku. Aku menyusuri jalan yang biasa kulewati. Di seberang traffic light terakhir sebelum mall tempatku bekerja terlihat penuh dengan orang berseragam. Satpol PP dengan segenap alat pentungan dan mesin buldozer. Sepertinya penggusuran lagi.
Aku berhenti di traffic light sambil terus memperhatikan para petugas Satpol PP mendesak warga yang tinggal di stren kali untuk meninggalkan daerah itu. Memang daerah yang tidak seharusnya menjadi tempat pemukiman itu kini dipenuhi rumah kardus.
Pandanganku sejenak terpaku pada seorang petugas yang mendorong anak laki-laki dengan tongkatnya. Sesekali petugas itu mengeluarkan kata-kata kasar kepada anak itu. Mataku kucoba fokus pada anak laki-laki yang sepertinya kukenal. Tapi lampu kemudian berubah menjadi hijau dan terpaksa aku harus melajukan motorku. Sesekali aku menolehkan kepala ke belakang melihat lagi adegan penggusuran itu. Bunyi klakson yang bersahutan membuatku harus bergegas.
***
Aku lelah sekali, hari ini pengunjung restoran cepat saji tempatku bekerja kebanjiran banyak sekali manusia. Banyak piring dan sampah yang harus diangkut dan dibersihkan. Di luar, rintik hujan datang lagi. Sambil membersihkan meja-meja mataku liar memandangi keadaan di luar sana.
Waktu rasanya begitu lambat berlau. Satu persatu manusia datang dan pergi di restoran ini. Sekelompak anak bergerombol di depan pintu masuk mall yang berada di samping restoran tempatku bekerja. Mereka membawa serta payung-payung di tangan. Hem...aku ingin sekali bertemu dengan anak laki-laki itu. Tapi sejak tadi aku mencari-cari Dodik, anak penyewa payung itu, tapi tak kutemukan di antara teman-temannya. Sementara hujan semakin deras di luar dan orang-orang semakin banyak yang berdatangan di restoran tempatku bekerja, mungkin menunggu hujan reda.
Aku menyelesaikan semua pekerjaanku ketika langit telah gelap. Namun hujan masih belum juga reda. Aku berjalan menuju anak-anak yang menyewakan payung.
"Kalian lihat Dodik, kok dia nggak datang?" Tanyaku pada anak-anak itu. Pertanyaanku disambut dengan pandangan bertanya.
"Dodik gak ikut mbak, dia di rumah sakit." Kata salah seorang dari mereka.
"Di rumah sakit ? Memang dia kenapa ?" tanyaku lagi. Namun kemudian aku teringat kejadian siang tadi. Sementara itu anak-anak di depanku itu nampak tertunduk.
"Gara-gara penggusuran tadi siang ya ?" Aku mencoba mencari pembenaran dari mereka. Salah satu dari mereka kemudian mengangguk dan berkata "Ya mbak, kepalanya bocor kena pentung petugas. Sekarang di Karang menjangan mbak." Mendengar semua itu tak terasa bulir air mata menetes di pipiku.
Betapa berat beban kehidupan yang harus ditanggung anak sekecil itu. Aku seakan berkaca dengan kehidupanku juga. Menjadi anak yatim piatu yang dirawat sebuah keluarga yang hangat membuatku terlalu berat menanggung beban itu sendiri. Tapi Dodik, mungkin ia masih memiliki orang tua lengkap. Tapi kehidupan menuntut ia untuk ikut menanggung bebannya. Aku segera mengajak salah satu dari anak-anak penyewa payung itu untuk menemui Dodik. Aku tidak ingin ia merasa sendirian. Seperti aku yang berhasil bangkit karena ada banyak orang yang mengukurkan tangannya padaku untuk bergandengan tangannya padaku untuk bergandengan tangan melewati kehidupan bersama. Pun demikian yang akan kulakukan dengan Dodik dan anak-anak jalanan lainnya.(*)
***
"Mbak...Mas...Om...Tante...Payung."
"Payungnya mbak...mas...daripada kehujanan. Saya antar sampai parkir."
"Jok entuk piro?" Tanya Dodik. Anak yang bertubuh paling besar diantara teman-temannya.
"Loro, Dik. Iku ae sik dienyang. Koen piro?" Tanya Joko balik.
"Siji...Wonge pelit-pelit. Wani kudanan timbang nyewo payung." Jawab Dodik.
"Yo wis lah...balik ta iki, moleh ae, wis sepi aku yo kademen." Sergah Tono, anak-anak laki-laki lainnya.
Kata-kata Tono disambut anggukan oleh teman-temannya yang lain. Mereka berjalan menjauh dari plaza itu. Mereka menuju terminal tua yang telah lama beralih fungsi sebagai rumah mereka.
Tanpa mereka ketahui di balik kaca-kaca plaza itu. Di dalam sebuah restaurant cepat saji, seorang gadis yang tengah membersihkan meja telah memperhatikan gerak-gerik mereka. Pandangan gadis itu lekat pada anak-anak itu hingga mereka meninggalkan plaza. Dan gadis itupun melanjutkan pekerjaannya.
***
Hujan hari ini turun terus dengan derasnya. Kendaraan di jalanan berjalan merambat berharap hujan akan berhenti berganti terang jauh di depan mereka. Orang-orang yang sedari tadi berada di dalam mall nampak berdiri di depan pintu masuknya. Sesekali melongok ke luar pintu kaca berharap hujan reda malam itu. Mungkin mereka ingin pulang ke rumah dan membuka belanjaan mereka sedari tadi.
Aku berdiri di antara belasan orang yang berdiri menunggu hujan sedikit reda. Sesekali aku melihat arloji di tanganku. Pukul 9 malam. 'Kalau aku nggak pulang sekarang bisa-bisa kemaleman sampai di rumah' pikirku. Sementara itu satu persatu orang di kanan kiriku telah beranjak pergi dengan ojek payung di samping mereka.
"Mbak, payung mbak, 3000 ae mbak, yo mbak?" seorang anak laki-laki menghampiriku menawarkan jasanya. Aku memandangnya dengan seksama dari bawah hingga atas. Sepertinya aku kenal anak ini.
Anak laki-laki itu masih saja memandangku, "Yok mbak, kemaleman loh nanti." Mendengar kata-kata itu sekali lagi aku melihat arloji di tangan. "Ya udah, sampai parkiran ya." Kataku singkat, disambut sunggingan senyum di wajahnya. Segera ia membuka payung yang sedari tadi ditentengnya. Diarahkannya payung itu ke arahku. Kami berjalan menuju tempat parkir.
"Dari siang aku lihat kamu ada di sini. Nggak sekolah?" Tanyaku.
"Nggak mbak, aku kerja." Jawabnya singkat. Jawabannya membuatku terpekur.
"Nama kamu siapa?" Tanyaku lagi. "Dodik, mbak." Jawabnya singkat. Aku memandangnya lagi dengan seksama sambil sesekali melihat jalan di depan.
"Nama mbak, Dina." Kataku padanya. Dodik tidak memberikan reaksi apa-apa ketika aku menyebutkan namaku.
Malam itu aku berpisah dengan bocah lelaki penyewa payung di tengah rintik hujan. Dan sejak itu bocah itu tak pernah hilang dari ingatanku. Bocah laki-laki kurus dengan payung di tangannya dan tubuh yang hampir semuanya basah.
***
Hari ini aku dapat shift sore, lumayan bisa mampir kampus dulu tadi mengerjakan beberapa tugas kuliah. Dari kampus aku harus memacu motorku lebih cepat karena langit mendung telah membayang di belakangku. Aku menyusuri jalan yang biasa kulewati. Di seberang traffic light terakhir sebelum mall tempatku bekerja terlihat penuh dengan orang berseragam. Satpol PP dengan segenap alat pentungan dan mesin buldozer. Sepertinya penggusuran lagi.
Aku berhenti di traffic light sambil terus memperhatikan para petugas Satpol PP mendesak warga yang tinggal di stren kali untuk meninggalkan daerah itu. Memang daerah yang tidak seharusnya menjadi tempat pemukiman itu kini dipenuhi rumah kardus.
Pandanganku sejenak terpaku pada seorang petugas yang mendorong anak laki-laki dengan tongkatnya. Sesekali petugas itu mengeluarkan kata-kata kasar kepada anak itu. Mataku kucoba fokus pada anak laki-laki yang sepertinya kukenal. Tapi lampu kemudian berubah menjadi hijau dan terpaksa aku harus melajukan motorku. Sesekali aku menolehkan kepala ke belakang melihat lagi adegan penggusuran itu. Bunyi klakson yang bersahutan membuatku harus bergegas.
***
Aku lelah sekali, hari ini pengunjung restoran cepat saji tempatku bekerja kebanjiran banyak sekali manusia. Banyak piring dan sampah yang harus diangkut dan dibersihkan. Di luar, rintik hujan datang lagi. Sambil membersihkan meja-meja mataku liar memandangi keadaan di luar sana.
Waktu rasanya begitu lambat berlau. Satu persatu manusia datang dan pergi di restoran ini. Sekelompak anak bergerombol di depan pintu masuk mall yang berada di samping restoran tempatku bekerja. Mereka membawa serta payung-payung di tangan. Hem...aku ingin sekali bertemu dengan anak laki-laki itu. Tapi sejak tadi aku mencari-cari Dodik, anak penyewa payung itu, tapi tak kutemukan di antara teman-temannya. Sementara hujan semakin deras di luar dan orang-orang semakin banyak yang berdatangan di restoran tempatku bekerja, mungkin menunggu hujan reda.
Aku menyelesaikan semua pekerjaanku ketika langit telah gelap. Namun hujan masih belum juga reda. Aku berjalan menuju anak-anak yang menyewakan payung.
"Kalian lihat Dodik, kok dia nggak datang?" Tanyaku pada anak-anak itu. Pertanyaanku disambut dengan pandangan bertanya.
"Dodik gak ikut mbak, dia di rumah sakit." Kata salah seorang dari mereka.
"Di rumah sakit ? Memang dia kenapa ?" tanyaku lagi. Namun kemudian aku teringat kejadian siang tadi. Sementara itu anak-anak di depanku itu nampak tertunduk.
"Gara-gara penggusuran tadi siang ya ?" Aku mencoba mencari pembenaran dari mereka. Salah satu dari mereka kemudian mengangguk dan berkata "Ya mbak, kepalanya bocor kena pentung petugas. Sekarang di Karang menjangan mbak." Mendengar semua itu tak terasa bulir air mata menetes di pipiku.
Betapa berat beban kehidupan yang harus ditanggung anak sekecil itu. Aku seakan berkaca dengan kehidupanku juga. Menjadi anak yatim piatu yang dirawat sebuah keluarga yang hangat membuatku terlalu berat menanggung beban itu sendiri. Tapi Dodik, mungkin ia masih memiliki orang tua lengkap. Tapi kehidupan menuntut ia untuk ikut menanggung bebannya. Aku segera mengajak salah satu dari anak-anak penyewa payung itu untuk menemui Dodik. Aku tidak ingin ia merasa sendirian. Seperti aku yang berhasil bangkit karena ada banyak orang yang mengukurkan tangannya padaku untuk bergandengan tangannya padaku untuk bergandengan tangan melewati kehidupan bersama. Pun demikian yang akan kulakukan dengan Dodik dan anak-anak jalanan lainnya.(*)
Kehidupan Akan Lebih Indah Jika Kita Dapat Bergandenga Bersama Melewatinya
Comments
tulisannya indah bgt mba..?
bolegh berbagi resepnya
Makasih ya udah suka tulisan saya... :)
resep apa nih... hhehehhe
saya cuma menuliskan apa yang saya tahu dan rasakan kok :)